Oleh: Laila Hidayati, Mahasiswi Fakultas Sastra, Universitas Muslim Indonesia
NusantaraInsight, Makassar — Tiap tanggal 1 Mei, masyarakat lokal maupun internasional merefleksi kembali perjuangan kesejahteraan melalui momentum May Day atau kerap populer dengan Hari Buruh dimana perjuangan hak-hak buruh yang belum terpenuhi & kesenjangan sosial yang terjadi di suarakan melalui May Day yang digelar lewat aksi demonstrasi atau selebrasi isu yang menyuarakan hak-hak buruh dan sudah sebagaimana mestinya musti dipenuhi oleh negara.
Menilik sejarah penetapan hari buruh, bermula dari aksi demonstrasi para buruh di Chicago Amerika Serikat tahun 1886 yang menuntut jam kerja 8 jam per hari, 6 hari seminggu dengan upah yang layak. Yang kemudian diwarnai kerusuhan tragedi Haymarket Affair sejak hari itu, setiap tanggal 1 Mei kemudian diperingati sebagai momentum hari buruh internasional. Spirit inilah yang mendasari perkumpulan buruh melakukan aksi protes.
Di Indonesia sendiri, melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia (KEPRES RI) No. 24 Th 2013. Pemerintah secara terang-terangan menyepakati 1 Mei ditetapkan sebagai hari buruh. Sebagai negara yang menyatakan menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi etika untuk mendengar aspirasi masyarakat di legitimasi melalui peraturan hukum secara tertulis telah terlaksana.
Namun, patut kiranya dari itikad baik ini, refleksi kesejahteraan yang terus digaungkan hingga problem kesenjangan sosial yang terjadi perlu di evaluasi kembali, masukan-masukan melalui momentum ini apakah terlaksana dengan baik oleh para pemangku kebijakan dalam sistem hari ini?
Berdasarkan laporan Organisasi Buruh Internasional (ILO) tingkat pengangguran global diperkirakan 200 juta lebih orang masih menganggur tahun 2024. Di Indonesia sendiri berdasarkan data BPS sebanyak 7.86 juta orang pengangguran. Tak sebatas itu problem buruh mulai dari Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), Upah Murah, Sistem Kerja Kontrak yang mengeksploitasi tenaga buruh terus digaungkan oleh partai-partai buruh melalui aksi demonstrasi.
Tahun bergulir, tepat pada May Day yang dijadikan momen untuk menyuarakan ketimpangan yang terjadi patutnya musti dilihat kembali (refleksi) kesejahteraan yang terus digembar-gemborkan terbukti masih mengalami problem serupa, jauh dari bayang kesejahteraan mulai dari kesenjangan sosial yang semakin memperjelas ketimpangan kaya dan miskin pasalnya 1 persen menguasai lebih dari setengah kekayaan global hingga negara yang seharusnya menjamin kesejahteraan rakyat justru hanya menjadi penengah antara buruh dan perusahaan.