MORAL HAZARD
Dalam penyampaian Wakil Kementerian Haji dan Umrah, dijelaskan bahwa peluang Haji Mandiri dibuka agar negara dapat memberikan perlindungan dan pengawasan yang lebih baik bagi warga negara Indonesia yang berangkat melaksanakan ibadah haji maupun umrah.
Melalui mekanisme ini, jamaah yang memilih berangkat secara mandiri tetap diwajibkan memenuhi sejumlah ketentuan, seperti melakukan pendaftaran resmi, memesan hotel, dan tiket pesawat melalui sistem terverifikasi, sehingga seluruh prosesnya dapat terpantau dengan baik oleh pemerintah.
Kebijakan ini tidak dimaksudkan untuk menimbulkan moral hazard ataupun mengancam keberlangsungan biro perjalanan haji dan umrah resmi.
Kekhawatiran sebagian pihak bahwa travel-travel konvensional akan kehilangan jamaah dan berpotensi bangkrut, sesungguhnya tidak perlu dibesar-besarkan.
Dalam sistem baru ini, pihak di luar lembaga resmi tetap tidak diizinkan menghimpun jamaah atau berperan sebagai penyelenggara perjalanan, sebagaimana peran travel berizin selama ini.
Selain itu, calon jamaah yang sama sekali belum memiliki pengalaman ibadah ke Tanah Suci tentu akan tetap membutuhkan pendampingan dan layanan profesional dari biro perjalanan resmi.
Dengan demikian, kebijakan Haji Mandiri ini justru membuka ruang kolaborasi antara negara, masyarakat, dan penyelenggara resmi, demi terciptanya penyelenggaraan ibadah yang lebih aman, transparan, dan berkeadilan.
Beberapa saat lalu saya telah mencoba melaksanakan umrah secara mandiri sebanyak dua kali. Saat itu saya benar-benar berangkat seorang diri — tanpa pendamping, tanpa rombongan, dan tanpa menggunakan jasa biro perjalanan.
Semua urusan saya atur sendiri, mulai dari pemesanan tiket pesawat, penginapan, hingga jadwal perjalanan. Durasi perjalanan pun saya buat singkat, sesuai kebutuhan saya, hanya empat hari, sebagai bentuk uji coba efisiensi dan penghematan biaya.
Biasanya, jamaah memesan hotel di dua kota — Madinah dan Mekkah.
Namun kali ini saya hanya memilih satu tempat menginap di Madinah saja, berupa apartemen sederhana dengan tarif sekitar tiga ratus ribu rupiah per malam. Untuk melaksanakan umrah di Mekkah, saya cukup menggunakan kereta cepat Madinah–Mekkah pulang-pergi, tanpa perlu menginap di hotel di Mekkah. Semua kegiatan disesuaikan dengan jadwal keberangkatan dan kepulangan kereta.
Setelah menyelesaikan ibadah umrah di Masjidil Haram, saya biasanya langsung kembali ke Madinah. Namun bagi jamaah yang ingin beristirahat sejenak setelah thawaf dan sa’i, bisa beritikaf di masjid semalam, lalu keesokan paginya kembali ke Madinah dengan kereta pertama. Pengalaman ini memberi pelajaran berharga bahwa umrah mandiri bukan sekadar hemat biaya, tetapi juga latihan kemandirian, disiplin, dan keikhlasan dalam beribadah. Ikhlas karena hanya kita dan Allah saja.

br






br






