YUK, KE MEKKAH NAIK UNTA KURUS (2)

Oleh Aslam Katutu

NusantaraInsight, Makassar — Allah Maha Mengetahui siapa di antara hamba-hamba-Nya yang mau berdoa, dan siapa pula yang dikabulkan permohonannya. Saya sendiri pernah mengalami perjalanan haji dengan visa ziarah pada tahun 2024 lalu — termasuk dalam kategori Haji Mandiri karena tidak melalui kuota resmi Kementerian Agama.

Saat itu, di sebuah kamar pengungsian di rumah sahabat seorang Arab, saya memusatkan diri untuk berdoa, memohon perlindungan bagi diri saya dan seluruh jamaah agar dimudahkan dalam menunaikan ibadah haji.

Namun, saya sadar, mungkin bukan doa saya yang paling didengar. Bisa jadi ada jamaah lain yang tangis dan jeritannya lebih pilu, hingga mampu mengetuk pintu ‘Arasyi dengan lebih dahsyat.

Beberapa hari lalu, saya menulis tulisan dengan judul yang sama ini, bertepatan dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2025 sebagai dasar hukum baru penyelenggaraan ibadah haji dan umrah di Indonesia. Regulasi ini menjadi tonggak penting, karena untuk pertama kalinya secara tegas membolehkan pelaksanaan umrah mandiri.

BACA JUGA:  Wahdah Bulukumba Kelola Milyaran Dana Qurban

Hari ini, Wakil Kementerian Haji dan Umrah RI kembali mengumumkan kabar baik: peluang Haji Mandiri akan segera dibuka, seiring rencana perubahan atas UU No. 14 Tahun 2025 guna menyesuaikan ketentuan tersebut.

Ini sungguh merupakan berita gembira bagi umat Islam, yang mencakup sekitar 87,2% penduduk Indonesia — menjadikan negeri ini sebagai negara dengan jumlah umat Muslim terbesar di dunia.

Dapat dibayangkan, betapa kabar ini akan mencairkan antrian panjang calon jamaah haji Indonesia yang selama ini menunggu antara 11 hingga 45 tahun untuk berangkat menunaikan panggilan suci ke Baitullah.

Buku yang saya tulis di masa pengungsian, berjudul “Ke Mekkah Naik Unta Kurus”, berisi kisah perjalanan haji tahun 2024 — tentang perjuangan memasuki Armuzna (Arafah–Muzdalifah–Mina), serta sejumlah saran dan harapan bagi pemerintah dalam penyelenggaraan haji dan umrah di negeri ini.

Buku itu memang belum saya edarkan secara luas melalui toko-toko buku. Saya hanya mencetak beberapa puluh eksemplar dan membagikannya secara terbatas kepada kerabat dan sahabat — orang-orang yang, menurut saya, memiliki hubungan atau pengaruh yang dapat membuat suara kecil ini sampai ke telinga para pemegang kebijakan.

BACA JUGA:  Puasa Syawal

Di antara mereka ada anggota DPR, pejabat, ulama, guru, hingga seorang kerabat yang dikenal dekat dengan Menteri Agama RI, karena berada dalam majelis pengajian yang sama.

Saya sadar, kita ini hanyalah ibarat seekor semut kecil di hadapan kekuasaan dan kebesaran dunia. Namun saya meyakini sepenuhnya bahwa Allah Maha Mendengar doa dan harapan setiap hamba-Nya, sekecil apa pun suara itu, selama ia lahir dari hati yang tulus.

br
br