KE MEKKAH NAIK UNTA KURUS

Oleh Aslam Katutu

NusantaraInsight, Makassar — Buku dengan Judul “Ke Mekkah Naik Unta Kurus” saya tulis di Kota Mekkah, di gua Hiro (istilah saya) di rumah sahabat orang Arab yang berhati bak malaikat di kawasan Soqiyah, ketika memisahkan diri dari rombongan yang tinggal di hotel transit, saat maraknya berita tentang Haji visa Ziarah tahun 2024.

Saya terdorong untuk menuliskan kisah dan refleksi perjalanan ini dalam sebuah buku yang saya beri judul “Ke Mekkah Naik Unta Kurus.” Buku ini lahir dari perenungan mendalam, saat saya memilih menjauh sejenak dari keramaian dan hiruk-pikuk razia di hotel-hotel transit

Dalam kesunyian hari-hari itu, saya mengisi waktu sebagaimana Rasulullah dahulu bertahannuts di Gua Hira: dengan merenung, berzikir, membaca Al-Qur’an, dan menulis. Saya juga mencoba menelusuri akar persoalan: mengapa begitu banyak umat Islam yang ingin berhaji justru harus menghadapi begitu banyak kendala?

Padahal, para jemaah yang menggunakan visa ziarah ini berangkat secara mandiri—tanpa membebani negara, tanpa mengambil jatah haji reguler, dan tanpa menyalahi sistem kuota. Mereka mengurus visa resmi yang diterbitkan langsung oleh pemerintah Arab Saudi, membiayai sendiri tiket pesawat, akomodasi, konsumsi, serta transportasi. Mereka hanya ingin menjawab panggilan suci dengan mencari jalan yang mungkin ditempuh, mengingat panjangnya antrean haji reguler serta mahalnya program haji khusus seperti Haji Furoda yang tak terjangkau oleh kebanyakan orang.

BACA JUGA:  Wahdah Islamiyah Bulukumba Tabligh Akbar

Harapan saya, kehadiran buku “Ke Mekkah Naik Unta Kurus” dapat membuka ruang dialog yang sehat, membangkitkan empati, dan menjadi pemantik bagi lahirnya solusi bersama. Sudah semestinya, pemerintah dan otoritas haji memberikan apresiasi atas ikhtiar mereka—dengan mengoordinasikan, membimbing, serta mengawasi secara bijak. Bukan dengan mengkriminalisasi atau melabeli mereka sebagai “haji ilegal.”

Dalam perspektif fiqih, syarat wajib haji adalah istitha’ah—yakni kemampuan secara fisik, finansial, dan perjalanan. Namun dalam hakikatnya, hanya Allah-lah yang benar-benar menentukan siapa yang memiliki kemampuan dan kelayakan untuk menjadi tamu-Nya. Karena sejatinya, undangan itu datang dari Allah, dan kemampuan itu pun Dia yang memberi.

Saya memilih judul “Unta Kurus” merujuk pada simbol yang disebut dalam Al-Qur’an—tentang beratnya perjalanan yang dilalui oleh para jemaah haji dari penjuru dunia.

Meskipun menghadapi medan yang jauh dan rintangan yang sulit, mereka tetap menempuhnya dengan keimanan dan ketulusan. Seperti unta kurus yang terus melangkah, mereka bergerak bukan karena kekuatan jasmani semata, tetapi karena kekuatan hati yang dituntun oleh panggilan Ilahi.