Oleh Aslam Katutu
NusantaraInsight, Makassar — Sumpah adalah pernyataan paling sakral yang dapat keluar dari lisan manusia. Ia bukan sekadar deretan kata yang diucapkan di hadapan penyidik atau hakim, tetapi pernyataan kesetiaan pada kebenaran dan kejujuran di hadapan Tuhan.
Dalam hukum, sumpah menjadi batas antara kebohongan dan keadilan; namun dalam pandangan agama, sumpah adalah garis pemisah antara rahmat dan azab.
Saksi Pelapor dalam perkara ini berdiri di hadapan penyidik kepolisian dengan wajah tenang, tangannya diletakkan di atas dokumen Berita Acara Pemeriksaan, lalu dengan lantang ia mengucapkan sumpah: “Demi Allah saya bersumpah bahwa saya telah memberikan keterangan yang sebenarnya, tidak lain dari yang sebenarnya. Apabila saya tidak memberikan keterangan yang sebenarnya, saya akan mendapat kutukan dari Tuhan.” Kata-kata itu menggema di ruang penyidikan, disaksikan aparat, dicatat dalam berita acara, dan diserahkan ke dalam berkas perkara sebagai kebenaran hukum.
Namun waktu kemudian membongkar sesuatu yang lain. Fakta-fakta yang muncul dalam proses peradilan menunjukkan bahwa keterangan saksi pelapor penuh dengan rekayasa, manipulasi, dan niat mencelakakan orang lain.
Ia tidak sekadar keliru, tapi sengaja menutupi kebenaran demi membenarkan kebohongan. Ia memilih jalan dusta, bukan karena tidak tahu yang benar, tetapi karena ingin menjatuhkan seseorang dengan cara yang curang.
Maka sumpah yang dulu diucapkannya kini berubah menjadi ancaman yang menggantung di atas kepalanya sendiri — janji kutukan yang diundangnya dengan lidahnya sendiri.
Ketika kasus berlanjut ke pengadilan, ia kembali diminta bersumpah. Kali ini di hadapan majelis hakim, dengan kitab suci Al-Qur’an diletakkan di atas kepalanya, ia mengucap dengan suara bergetar: “Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan menerangkan dengan sebenarnya dan tiada lain daripada yang sebenarnya. Semoga Tuhan menolong saya.” Sekilas, sumpah itu terdengar khidmat. Semua yang hadir menundukkan kepala, menghormati prosesi yang sakral itu.
Namun bagi yang mengetahui kebenarannya, sumpah itu adalah dusta kedua yang lebih berat dari yang pertama. Ia tidak lagi sekadar berbohong kepada manusia, tetapi telah menantang langit dan bumi untuk menjadi saksi atas kebohongannya. Kalimat “Semoga Tuhan menolong saya” justru berubah menjadi ironi, karena bagaimana mungkin Tuhan menolong orang yang menjadikan nama-Nya sebagai alat pembenaran dusta?
Sumpah palsu adalah dosa besar. Rasulullah ﷺ bersabda: “Saksi palsu disamakan dengan syirik kepada Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim).







br






