Perjalanan Kepenyairan Pulo Lasman Simanjuntak Sepanjang Empat Puluh Tiga Tahun

BANDARA INTERNASIONAL CHANGI

1
lihatlah toko-toko siang ini sudah berdandan
mau tunggu apa lagi mahluk dungu
jasad makin usang
sepanjang landasan
hamparan permadani batu
tak beri salam tuli
kumpulan kaki yang payah

2
percakapan riuh kulipat rapi
dalam kopor
menyedot sepi
kian berlemak
sampai dari jarak begitu dekat
supir airbus menggosok-gosok jantung

pesawat belum menembus lapisan kaca
oi, ada bau lonte
kuku-kuku birahi

di sini tanpa beban
sebuah benua dirobek-robek

Singapura, Desember 1996

DARI SINI

ketika tiba kudaku dicambuk bulu-bulu
beranda stasiun yang lugu
makin mengeras bumimu
berlapis-lapis

pacu! ayo! pacukan kudaku
sarat racun tumbuhan
menuju gurun perang
sampai terkencing
mata uang logam

logikaku terus berlari
berlari
mendaki matahari
di kaki mall yang terbakar
faktur-faktur gemerlap

perjalanan kilas balik sudah basi
giliran lewat siapa harus berkemas
dari atas tenda pencuri
kembang-kembang gula
ataukah menggilas rakus
roda-roda aspal

tercatat biodata
dengan air tinta merah
aku melirik
tangannya adalah ratusan mercon
siap meledak
dalam saku celana

BACA JUGA:  Pelangi di Lorong Daeng Jakking

Johor Baharu, Malaysia, Desember 1996

KHOTBAH

di sebuah kaabah Tuhan
yang dibangun zaman batu
firman kebenaran dihembuskan
pada musim kering
akupun jadi terinspirasi

Pamulang, 2008-2009

SAJAK PERJALANAN EPISODE PERTAMA

badai mengamuk
dari mulut sungai tak tercatat dalam kitab
wajahmu membatu
batasi bibir laut
aku sendiri bahasa bisu
suara protes
seperti angin berlalu

membujuk ke kancah perang
tak bermimpi permukiman-permukiman kumuh
serangga liar yang lapar
dan orang-orang sudah ditidurkan
di sebuah negeri gaib

pada zaman abad terbalik
masihkah penyair berpolitik,tanya mr.arsart

sesal dibanting di trotoar jalan
perkawinan retak
terbentur dinding kapal

Singapura, Desember 1996

SUNGAI BATANGHARI DALAM PUISI

mendayuh sampan ke muara
matahari tercemar
sepanjang sejarah
pantai timur sumatera
nelayan telah kehilangan pelabuhan

dalam kenangan digelar
jembatan terpanjang
tempat menjerat
mimpi-mimpi teduh
di dasar sungai dari hulu hingga ke laut
ikan-ikan tak pandai berenang

situs-situs
tercecer
masih setia menunggu
janji sakti

Jambi, tahun 1985-1986

TRAUMATIK

stasiun radio kuusung
dari belakang punggung
unjuk gigi hewan-hewan melata
matahari mengepulkan asap hitam
bencana berantai
tidurku meninju bulan yang berdarah

BACA JUGA:  Edo Makarim Pameran Seni Resonansi Dua Dunia: Menelusuri Harmoni dalam Kontradiksi

membuntingi pohon tunggal
perawan bertekuk lutut
perut ditikam belati
kehilangan air mani
kabar celaka
membuatku makin menarik minat
membenturkan geger otak
ke dalam kulkas