Ayah tiga anak ini (Dr.Muhammad Ikhlas Supardin, S.H.,M.A., Ahmad Muhayi Supardin, S.H., dan Abdul Mujib Supardin) mengemukakan, judul orasinya ini muncul di pertengahan tahun 2023 setelah mengidentifikasi 10 masalah dan melakukan wawancara kepada 20 orang Guru Besar dan 1 orang calon Guru Besar.
Hasilnya lebih banyak menyetujui judul ini yakni 8 orang atau 38% dari 21 responden dan sisanya 62% (13 orang) terbagi-bagi ke dalam 9 judul lainnya rata-rata 6,8-6,9 %.
“Lebih dikuatkan lagi oleh penyataan Rektor UINAM Prof. Hamdan Juhanis saat acara Sidang Senat Terbuka Luar Biasa: Pengukuhan Guru Besar tanggal 22 Mei 2025 yang menawarkan penelitian lanjutan tentang “Poligami di Persimpangan,” ujar Prof.Supardin mengawali orasinya yang membuat yang hadir terkekeh, kemudian menambahkan, pernyataan inilah yang membuat saya tertarik (faktor primer) untuk melanjutkan Pidato/Orasi Ilmiah Pengukuhan Guru Besar saya: “Warisan di Persimpangan: Konflik antara Tradisi dan Keadilan.”
Alasan lain, imbuh Prof. Supardin, ketika dipanggil menjadi saksi ahli di Pengadilan Agama Makassar Kelas IA Khusus dan Pengadilan Agama Palopo Kelas II. Selain itu, juga dipanggail memediasi keluarga pada daerah dengan inisial (J) dan daerah lain dengan inisial (E) terkait pewaris yang mempunyai 3 istri.
“Setiap istri mempunyai anak dengan harta warisan yang banyak (kasus munāsakhah), dan saya dipercaya sebagai “mediator non-litigasi,” ujar lulusan S-1 Fakultas Syariah dan Hukum IAIN Alauddin tahun 1991 tersebut.
Alumnus Magister Hukum Islam IAIN Alauddin (2006) ini menambahkan, kasus lain yang juga ahli waris yang ingin membagi dan menyelesaikan harta warisannya pewaris, adalah menurut keinginan keluarga tertentu (menurut pendapatnya) tanpa memiliki ilmu hukum kewarisan (khususnya hukum kewarisan Islam).
“Bahkan beberapa personel keluarga yang mendatangi saya secara langsung, dan ada juga yang melalui telpon/WA. Penyelesaian kasus-kasus kewarisan tersebut sangat bervariasi sehingga ada yang tuntas dan ada yang memerlukan penanganan khusus, bahkan ada yang menyelesaikan kasus kewarisan menurut tradisi yang menyebabkan pihak lain tidak merasa puas,” ujar anak yatim piatu tersebut.
Prof.Supardin setelah membandingkan hukum kewarisan di beberapa negara Islam, menyebutkan, Indonesia dan Malaysia merupakan dua negara dengan mayoritas penduduk muslim yang merujuk pada mazhab Syāfi’ī dalam praktik keagamaannya.
Dalam konteks hukum kewarisan, kedua negara ini menerapkan prinsip pembagian (2:1), laki-laki menerima bagian dua kali lebih besar dibandingkan perempuan, sebagaimana diatur dalam Fiqh Syāfi’ī.