Pada bagian III, NR bertutur sangat mengagumi ibunya Hj Zubaedah Daeng Baji, sebagai “makkunrai malebbiq”. NR mengenang bagaimana ibunya mengajarkannya menjadi wanita yang salihah dan ‘melebbiq’. Ibunya bangsawan yang berdarah campuran Soppeng, Barru, dan Segeri (Pangkep), selalu mengajarkan anaknya “taniatu taseqna darae naraseng tauwe arung, naikiya ampe-ampenami” (bukanlah kentalnya darah bangsawan seseorang, sehingga ia dianggap sebagai bangsawan, melainkan dari budi pekertinyalah maka ia dianggap sebagai bangsawan).
Lantaran latar belakang itulah, Zubaedah Daeng Baji mengajarkan anak-anaknya menjadi wanita ‘malebbiq’ – berperilaku anggun nan halus dengan budi pekerti yang mulia. Ayahnya pun selama hidupnya, selalu mengajarkan bagaimana menjadi Wanita pemberani yang saleh. Setiap hari mengajari mereka akhlatul karimah.
Bagian terakhir buku ini bertutur tentang pengalaman NR di almamaternya. Sebelum melabuhkan diri di Fakultas Sastra Unhas 1977, NR adalah mahasiswa Fakultas Syariah IAIN Alauddin pada tahun 1976. Lantaran lokasi kampus itu jauh dari tempat tinggalnya ditambah lagi dengan kesulitan transportasi pada masa itu, setahun kemudian dia memutuskan menjadi mahasiswa Fakultas Sastra Unhas yang ketika itu melaksanakan kegiatan perkuliahan di Jl. Sunu 121-123 Makassar.
Ada satu kisah lucu di bagian ini. Suatu hari, seorang temannya yang ikut kuliah Bahasa Inggris I ingin ke Pelabuhan Makassar, pada saat yang sama berlabuh kapal Perang Angkatan Laut Amerika. Nadirah, teman itu, ternyata ingin memperlancaar Bahasa Inggris-nya dengan berdialog dengan para awak kapa lasing itu. Dia tidak sendiri ke sana. Banyak temannya. Bagaimana cara meloloskan diri dari ruang yang tidak lama lagi akan didatangi sang dosen, Idris Hambali.
Untuk keluar dari ruang kuliah melalui jendela, satu demi satu mahasiswa perempuan itu melempar sepatunya ke luar jendela. Terakhir, NR seorang diri di ruangan kuliah, melempar sepatunya ke luar. Teman-temannya bersiap-siap menjemputnya. Astaga.. sang dosen, Idris Hambali, muncul. Sang dosen kaget melihat ruangan tinggal berisi seorang mahasiswa. Yang didapatinya, NR yang berkaki telanjang, tanpa sepatu. Idris Hambali marah, meskipun kuliah hari itu tetap berjalan dengan seorang mahasiswa.
Belakangan, setiap NR bertemu yang kebetulan juga dosen di Jurusan Sastra Inggris, Nadirah selalu mengenang kisah itu sembari terkekeh-kekeh.
“Kau memang pantas jadi profesor, karena sejak S-1 rajin sekali belajar,” kenang Nadirah sembari ha..ha…
Pada bagian ini, pada judul “Aku dan Peristiwa Gaib di Sekitarku” juga ada kisah menarik dan layak memicu adrenalin orang membaca. NR termasuk sosok yang paling sulit memercayai cerita tentang adanya makhluk gaib, ‘parakang, poqpoq’ dan semacamnya.