Jika kemudian ada yang menilai, ini baru diterapkan, sehingga pengendara belum terbiasa, justru keliru. Justru yang tidak terbiasa adalah mereka harus berhenti setelah lepas ‘traffic light’ pintu 1 Unhas dan kendaraan terjebak ‘antrean’ panjang melanjutkan perjalanan ke arah tengah kota.
Ketika saya memperoleh informasi akan dipasang lampu ‘traffic light’ pada ruas jalan itu, saya sudah meramalkan bakal menambah parahnya kemacetan. Penyebabnya, jarak antara lampu ‘traffic light’ baru ini dengan di depan Pintu 1 Unhas tidak cukup 1 km. Pada saat lampu ‘traffic light’ baru, menyala hijau dan kendaraan bergerak, kendaraan akan berderet panjang (bukan menumpuk, karena menumpuk, itu berarti kendaraan ada yang di atas dan di bawah, bersusun dan kesannya tidak teratur) karena kendaraan yang menunggu lampu boleh jalan di depan pintu 1 Unhas belum bergerak.
Pembukaan ‘traffic light’ baru Jl. Perintis Kemerdekaan ini, juga memicu terjadi banyak kendaraan bermotor melawan arah di Jl. Dr.Leimena Pannara. Ini masalah yang sudah kronis. Apalagi pada saat menjelang magrib. Ini kian diperparah lagi oleh ketiadaan petugas Polantas karena pengguna jalan yang melawan arah hanya takut pada petugas bukan pada rambu lalu lintas dan aturan.
Menurut saya solusinya adalah untuk menghentikan pengendara sepeda motor yang melawan arah di Jl. Perintis itu — yang juga terjadi pada ruas-ruas jalan lain — adalah memberi sanksi kepada mereka. Petugas Polantas secara periodik bergiliran bergantian ‘mengawal’ jalan di ruas itu pada jam-jam parah. Menindak tegas mereka yang melanggar agar jera. Pertanyaannya kemudian, sampai berapa lama petugas harus terus di situ menghadapi ketiadaan kesadaran pengendara.
Untuk mengatasi masalah ini memang berat, sebab berkaitan dengan perilaku dan kesadaran pengguna jalan. Itu karena mereka yang hanya takut pada petugas dan bukan pada aturan, sudah kronis terbiasa dengan pola perilaku melawan aturan. Tidak ada tindakan yang membuat para pelanggar itu jera. Mereka akan terus melakukan pelanggaran karena sudah menjadi ‘habit’ (kebiasaan).
Jadi, sebaiknya pihak terkait kembali mengamati situasi kemacetan di Jl Perintis Kemerdekaan setelah adanya pemasangan ‘traffic light’ tersebut lalu mengevaluasinya dan mencari solusi terbaik yang lain. CCTV kota bisa yang ada di War Room Balai Kota Makassar bisa membantu memantau situasi jika tidak ingin berpanas-panas di jalan. Sebab, ternyata pengendara sepeda motor yang melawan arah yang menjadi alasan dibangunnya fasilitas ini, justru tidak hilang. Kendaraan dari arah Jl.Leimena Baru yang harus berbelok kiri dan berbalik arah di dekat MTos, juga tidak terlibat kemacetan parah. Pengguna jalan malah saling pengertian dibantu ‘Pak Ogah’ sebagai pengatur jalan, menggantikan petugas Polantas yang kini sering juga secara periodik turun ke jalan. (*).