Stabil: Peringkat Kredit Indonesa

Kredit
Gedung Kemenkeu

Rencana pemerintah untuk menaikkan rasio pajak hingga 23 persen juga akan sangat menentukan keberlanjutan fiskal ke depan. Jika gagal, pembiayaan utang bisa membengkak, memperburuk beban fiskal jangka menengah.

Selain itu, risiko politik domestik setelah pemilu di sejumlah negara APAC turut disoroti oleh Moody’s. Di Indonesia, pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo akan menghadapi dilema, antara menepati janji politik yang populis atau menempuh jalur disiplin fiskal.

Menurut Syafruddin, kebijakan subsidi energi, program Makan Bergizi Gratis, dan proyek-proyek besar akan membebani fiskal. Apabila tidak diimbangi dengan penerimaan yang cukup, hal itu akan menggerus kepercayaan pasar terhadap komitmen fiskal pemerintah.

Moody’s turut menyatakan akan mengubah outlook menjadi negatif jika pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat secara signifikan, defisit fiskal melebar tanpa strategi pemulihan, atau ketegangan geopolitik dan proteksionisme perdagangan makin memburuk.

Sebaliknya, outlook akan membaik apabila Indonesia berhasil meningkatkan rasio pajak dan menurunkan defisit anggaran, pemerintah melajukan reformasi struktural secara efektif, serta ketegangan global mulai mereda.

BACA JUGA:  Haji yang Terstruktur

Syafruddin menambahkan, stabilitas perekonomian bergantung pada disiplin fiskal dan reputasi BI. Secara umum, Moody’s masih memberi Indonesia ruang optimisme dengan catatan penting, yakni Indonesia harus menjaga disiplin fiskal, memperkuat struktur penerimaan pajak, dan tidak membiarkan bank sentral kehilangan independensinya.

Adapun Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen Universitas Paramadina Didin S Damanhuri menyoroti, bank-bank di kawasan Uni Eropa terindikasi mulai menolak pengajukan surat kredit (letter of credit) bank di Indonesia.

”Bank-bank di Uni Eropa menolak letter of credit bank di Indonesia, menurut saya, ada hubungannya dengan peristiwa jatuhnya nilai pasar banyak perusahaan bluechip sekitar 30-50 persen sahamnya pada 19 Maret 2025,” katanya saat dihubungi Kompas.id

Hal ini dipersepsikan sebagai dampak dari beberapa kebijakan pemerintah yang telah menciptakan sentimen negatif terhadap para investor. Kebijakan tersebut meliputi defisit fiskal dan utang luar negeri, anjloknya perimaan pajak, dan peluncuran Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara yang pengelolanya dinilai tidak independen.

Selain itu, terdapat juga sentimen akibat pengesahan revisi Undang-Undang (UU) TNI menjadi undang-undang yang dinilai nondemokratis. Ada pula biaya besar untuk program-program populis yang berdampak rendah terhadap pertumbuhan ekonomi, seperti pembentukan 80.000 Koperasi Desa Merah Putih dengan dana yang diperlukan berkisar Rp 350 triliun-Rp 400 triliun.

br