Seandainya Lakkang Jadi Laboratorium Wisata Berkelanjutan (2)

Lakkang
Rusdin Tompo di atas Pincara

Saya juga memilih berhenti karena alasan, bahan bakar sepeda motor yang tinggal sedikit. Ini karena semula saya mengira hanya akan memarkir kendaraan di sebelah, nanti pulang baru mengisi bahan bakar (BBM) di pompa bensin di depan pintu satu Unhas. Alasan kedua, saya mau singgah di warung warga, yang berada tepat di sebelah guest house, sambil ngobrol, mengorek informasi.

Pemilik warung itu, Daeng Bonro, dan istrinya, Daeng Harnia, begitu ramah menyambut kami. Saya yang tidak lancar dan jarang menggunakan bahasa Makassar, siang itu berkomunikasi dalam bahasa ibu saya: Makassar. Biar terasa dekat dan akrab. Saya memesan mie instan dan sebotol air mineral. Sementara istri memesan segelas cokelat panas. Pasangan suami istri ini, membuka warung makan dan punya kios (ga’de-ga’de) di depan rumahnya. Mereka menjual barang keperluan sehari-hari, termasuk aneka rupa minuman kemasan.

Rupanya, pedagang yang baik hati ini, tak hanya menyuguhkan makanan dan minuman yang kami pesan, tapi juga memberikan banyak bonus hehehe. Dua piring pisang ijo, pisang Thailand, dan rambutan, disuguhkan kepada kami. Keduanya merupakan warga asli Lakkang. Daeng Harnia mengatakan, dia membuat banyak makanan karena ada anaknya, yang pulang kampung ke Lakkang menjelang Ramadhan untuk berziarah kubur.

BACA JUGA:  Catatan Perjalanan (Kearsipan) (1): 1200 mdpl

Saya lalu bercerita, pada bulan Maret 2011, pertama kali saya ke Lakkang. Saat itu, dilakukan penggalian bunker peninggalan tentara Jepang, oleh gabungan personel Lantamal VI, Koramil Tallo, dan warga Lakkang. Gotong royong dan kerja bakti ini dilakukan atas inisiatif teman-teman jurnalis yang tergabung dalam Lingkar Penulis Pariwisata (LPP) Makassar bekerja sama dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Makassar, dan beberapa korporasi. Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Makassar, saat itu, dipimpin oleh Rusmayani Madjid.

Saat itu, saya diajak oleh Hendra Nick Arthur (wartawan Kantor Berita Antara) dan Furqon Majid (wartawan Tribun Timur). Wali Kota Makassar (periode 2004-2009 & 2009-2014), Ilham Arief Sirajuddin, menyaksikan langsung penggalian 7 bunker yang dibangun antara tahun 1944-1945 itu. Bunker-bunker itu berada di bawah tanah, di antara rimbun hutan bambu.

Kepada Daeng Harnia, saya sampaikan, saat itu, kami disuguhkan menu khas Lakkang, berupa ikan masak mirip pallu mara, tapi ikan itu diikat dengan pisang. Perempuan 60-an tahun itu, menyampaikan bahwa masakan yang saya maksud itu adalah pallu unti-unti. Ikannya bisa berupa ikan mujair atau nila. Bisa pula ikan bolu (bandeng). Cara membuatnya sederhana. Ikannya dibungkus pisang (unti) batu lalu diikat. Bumbunya hanya terdiri dari sarre (serai), laja (lengkuas), lasuna kebo (bawang putih) dan lasuna eja (bawang merah).