Kami pernah membuat pelaminan (lamming) dari bahan-bahan kertas berbentuk burung merak. Selain itu, kami mendekor kamar pengantin perempuan, membuat hiasan dinding serta slenger. Slenger ini dekorasi berbentuk rantai terbuat dari guntingan kertas yang disambung, biasanya digantung di plafon rumah atau di tenda pesta. Agar lebih indah, kami juga membuat lampion dan hiasan gantung, yang kesemuanya berbahan karton dan kertas.
Sesekali kami membuat hiasan janur, yang diletakkan di depan, di sisi kanan dan kiri pelaminan. Janur ini, selain pembuatannya butuh waktu lama, juga biayanya relatif mahal. Bayangkan, ada apel, jeruk, jambu, nenas, dan buah-buah lain dengan bentuk dan warna berbeda. Aneka buah yang ditancapkan menggunakan tusuk sate ini, sebagai pemanis dekorasi janur, yang menjadikannya mahal. Apabila ada orderan pembuatan janur, maka kami membawa buku panduannya di lokasi, biar lebih mudah ditiru.
Berdasarkan pengalaman kami, ada cara yang biasa kami lakukan bila membuat janur. Jika kami perkirakan bahwa pembuatan janurnya tidak bisa penuh lingkaran, mengelilingi batang pisang yang jadi penopangnya maka kami hanya membuat setenganhya atau dua pertiganya saja. Cuma tampak depan, yang dilihat orang. Ini semacam menyiasati waktu pengerjaan juga, bila sudah tiba acara, sementara pembuatan janur tidak keburu.
Orderan dekor pertama datang dari Daeng Timung, pegawai Kantor Gubernur KDH Tingkat I Sulawesi Selatan. Kami mendekor di rumah keluarganya di Katangka, tak jauh dari Masjid Tua Al-Hilal. Setelah itu, kami banyak mengerjakan dekorasi acara perkawinan di Sungguminasa, Kampung Jangka, Boka, dan Limbung. Di Limbung kami pernah mendekor pengantin anak seorang kepala desa. Boleh dikata, Gowa dan Makassar merupakan “wilayah kerja” kami. Namun, secara pribadi, saya pernah juga mendekor di Pinrang, acara kawinannya adik dari dosen saya.
Dengan pengalaman terbilang panjang, saat itu, saya merasa honor yang diterima sebagai padekor sudah tidak lagi memadai. Keputusan saya pun bulat, mendaftar sebagai penyiar radio di Venus AM. Bermodal Rp50 biaya fotokopi itu, alhamdulillah diterima. Meski posisi saya bukan sebagai penyiar, melainkan news writer atau lebih tepatnya sekadar rewriter, yang mengutip berita dari koran Pedoman Rakyat dan harian Kompas. (*)