Dalam lanjutan kata pengantarnya, beliau membahas agenda setting, yang melibatkan dua kepentingan, yakni kepentingan media massa (dalam agenda/perencanaan media) dan kepentingan khalayak/publik (agenda/perencanaan publik). Ditegaskan, kedua kepentingan sebaiknya saling dukung hingga agenda setting dapat dibaca sebagai perancangan media mengikuti perancangan/keinginan khalayak (Straubhaar LaRose, 2004). Manakala tulisan-tulisan opini terlepas dari agenda media maka yang patut dipersalahkan adalah redaksi media bersangkutan.
Sungguh suatu pengantar yang mengandung edukasi dan nasihat, sekaligus pedoman kepada mereka yang menyebut dirinya wartawan dan pengelola media. Di tengah fenomena post-truht, di mana fakta-fakta aktual digantikan oleh daya tarik emosi dan prasangka pribadi dalam mempengaruhi opini publik, tulisan Pak Ecip masih sangat relevan. Bagaimana tidak, di era multi-platform, multi-channel, dan multi-content ini, fakta atas suatu peristiwa terkadang bisa dengan mudah dimanipulasi. Informasinya disetel sedemikian rupa agar sesuai dengan intensi atau kepentingan si penyebar berita.
Tulisan-tulisan S. Sinansari ecip, selalu bergizi. Beliau dalam buku “Proses Kreatif Penulis Makassar” edisi 2 (2024), yang disunting akademisi Universitas Islam Negeri Alauddin (UIN) Makassar, Dr. Firdaus Muhammad (sekarang Profesor), mengungkapkan bahwa dirinya banyak belajar dari karya orang lain. Beliau tidak belajar teori kesusastraan. Jurnalismelah yang antara lain ikut memperkaya bahasa, teknik, dan sistematika penulisannya. Proses kreatif dalam menulis, katanya, tidak tiba-tiba hadir. Ada titik berangkatnya. Bisa berupa pendidikan dan bisa pula pengalaman. Setiap kali ia menulis, itu merupakan upaya pelunasan utang kepada emaknya. Karena berdasarkan ceritanya, ketika beliau masih kelas 1 SMP, pernah meminjam uang dari emaknya untuk membeli buku. Janjinya, uang itu akan dikembalikan pada akhir bulan. Namun, empat hari berselang, emaknya wafat, sebelum uang tersebut dikembalikan.
S. Sinansari Ecip, sebagaimana pengakuannya, memang tidak sempat membayar utang buku kepada emaknya. Namun, atas kegemarannya membaca buku-buku, ia kini berdiri di hadapan sejarah, memperlihatkan kepada emak yang dicintainya, sebuah mahkota dengan permata buku-buku yang ditulisnya. Namanya tercetak pada sampul buku itu, dan cerita indah tentang hubungan kasih sayang ibu dan anak, direkatkan dalam buku tersebut. (*)







br






