S Sinansari Ecip, Jurnalis dengan Mahkota Buku

Saya beruntung, mulai mengenal Doktor bidang Ilmu Komunikasi dari Universitas Hasanuddin (UNHAS) ini, ketika menjadi komisioner. S, Sinansari ecip, saat itu, merupakan komisioner pada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, sementara saya di KPID Sulawesi Selatan, 2007-2010. Itu periode pertama saya di KPID Sulawesi Selatan. Beliau malah pernah menjabat sebagai Wakil Ketua KPI Pusat, periode 2004-2007.

Pak Ecip hadir mewakili KPI Pusat, saat kami dilantik oleh Gubernur Sulawesi Selatan, H.M. Amin Syam, di Ruang Pola Kantor Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan. Aswar Hasan kembali menjadi Ketua KPID Sulawesi Selatan, pada periode ini, melanjutkan periode sebelumnya (2004-2007). Selama menjadi komisioner, kami sering bertemu beliau saat Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) KPI se-Indonesia atau pada forum-forum lainnya. Visi dan sikap kritis beliau untuk mewujudkan frekuensi sebagai ranah publik terasa benar disuarakan dalam forum-forum nasional tersebut.

Namun, pengalaman bertemu beliau yang paling berkesan saat saya menjadi editor buku “Media dan Perubahan Politik Represif” karya Dr. Mansyur Semma, tahun 2008. Ada kisah di balik pengerjaan buku dosen UNHAS itu, yang membuat saya mesti menemui Pak Ecip di Hotel Banua, Jalan Haji Bau, begitu tahu beliau punya agenda di Makassar.

BACA JUGA:  SKEMA: RAGNAR & NATURA TUNGGAL IKA

Saya memang mesti bertemu dengan mantan Ketua Dewan Kesenian Makassar (DKM) itu. Pasalnya, sebelum memulai mengedit buku “Media dan Perubahan Politik Represif”, saya mendapat pesan dari Syamsuddin Alimsyah, pendiri Komite Pemantau Legislatif (KOPEL) Sulawesi bahwa mendiang Mansyur Semma menghendaki agar kalau bukunya diterbitkan maka yang memberi kata pengantar adalah S. Sinansari ecip. Buku yang banyak mengulas tema-tema aktual seputar kekuasaan, demokrasi, dan kebijakan publik di media massa itu, sungguh relevan dengan kerja jurnalistik yang pernah digelutinya. Pak Ecip pernah bekerja sebagai wartawan di Harian KAMI, Majalah TEMPO, Majalah Panji Masyarakat, dan Harian Republika.

Dalam pengantar, yang diberi judul “Meraba dan Membuka Tabir”, beliau menulis bahwa isi media massa haruslah dapat ditangkap oleh seluas-luasnya khalayak. Bahasa yang cair akan memudahkan sebanyak mungkin lapisan masyarakat mengerti muatan media. Beliau memuji kejelian Mansyur Semma lewat tulisan opini di media massa yang merespons persoalan-persoalan masyarakat dan bangsanya. Walau memiliki keterbatasan penglihatan, Mansyur Semma, tetap menunjukan kepedulian dan keberpihakan.

BACA JUGA:  Kata, Kota, dan Kita

Menurutnya, apa yang menjadi perbincangan masyarakat atau apa yang menjadi topik pemberitaan media, memang harus diikuti oleh kupasan atau pendapat yang memperkaya pengetahuan masyarakat. Kupasan atau pendapat itu bisa dilakukan oleh akademisi, aktivis, profesional, atau orang yang memahami persoalan itu. Manajemen media, dalam hal ini redaksi, seyogianya mengawinkan kedua hal tersebut.

br