Rivalku Sahabat Terbaikku

Rivalku Sahabat Terbaikku
Moh Haekal Rumaday (Mahasiswa UIN Alauddin Makassar)

Okey baiklah, saya harus bertanggung jawab atas semua ini. Toh jika dikeluarkan pun saya sudah siap dengan semua konsekuensinya.

Akhirnya saya memutuskan ke sekolah, setelah hampir sebulan tidak menginjakkan kaki di kelas. Saya langsung disuruh menghadap Wakasek.

Dalam hati saya membatin, mungkin saya bakal dikeluarkan tanpa hormat. Kenapa semua jadi berantakan begini?

Begitu saya menghadap, obrolan dibuka dengan satu pertanyaan dari Wakasek, “Haekal, apakah kamu masih ingin bersekolah di sini atau dikeluarkan? saya sudah bingung dengan kamu. Karena setiap surat teguran yang dikirim, tidak pernah mendapatkan respons dari kamu, maupun pihak yang mewakili kamu.”

Beliau kembali tegas bertanya, “Apakah kamu masih mau sekolah atau dikeluarkan?”

Dengan mantap saya menjawab, “Saya ingin pindah sekolah, Pak. Saya tidak mau lagi membuat lebih banyak masalah di sini.”

“Baiklah, saya akan urus surat pindah kamu. Satu Minggu kemudian kamu boleh datang mengambil surat pindahmu. Karena Kepsek sementara tidak berada di tempat,” kata beliau.

“Baiklah, Pak. Terima kasih atas perhatiannya,” ucap saya.

BACA JUGA:  Tak Kenal Maka Tak Sayang, ini Dia H Sunarto, S.Pd.,M.Si Ketua PGRI Lutim 2025-2030

Singkat cerita, saya kembali ke rumah, dan duduk melamun di sana. Tiba-tiba muncul rivalku. Dia menyapa, “Hey bro, bengong aja, lagi mikirin apa?”

Saya dengan sedikit tersenyum membalas, “Saya sudah memutuskan untuk pindah sekolah brow.”

“Ha….” Dia sedikit kaget, “Pindah?”

“Iya, saya pindah bro. Saya sudah kalah jauh sama kamu. Saya malu bro. Kamu terus berkembang dalam pendidikan, dan saya hanya bisa jadi seorang anak remaja yang terus menyusahkan orang lain, termasuk kamu bro.”

“Tapi kan semuanya bisa diperbaiki bro. Saya bisa bantu kamu kalau persoalan tugas bro,” kata dia meyakinkan.

“Ini bukan lagi persoalan nilai sekolah bro, tapi citraku sebagai seorang anak remaja yang telah negatif di mata para warga, dan nama keluarga yang rusak hanya karena perbuatanku. Saya sungguh malu bro,” beber saya.

Kami pun terdiam.

Yah kami berdua bukan lagi sekadar rival. Dia malah sudah saya anggap seperti saudara sendiri. Di tengah kesulitan saya menghadapi situasi hidup, dialah satu-satunya orang yang sering meluangkan waktu untuk membantu saya.

BACA JUGA:  Catatan Ringan untuk Wali Kota Baru: "RANGKUL POTENSI SERPIHAN YANG TERBURAI...."

Kembali ke cerita kami, saya mencoba mencairkan suasana.

“Tenang saja bro, kita akan tetap bersaing dan selalu menunjukkan yang terbaik. Kamu di sini selalu tunjukan yang terbaik, begitupun saya di sekolah baru nanti. Perjalanan kita masih panjang tuk selalu memberikan yang terbaik brow,” kata saya.

“Aku punya satu permintaan bro,” ujarnya.

“Apa?” Tanya saya penasaran.