Revisi UU ITE Membungkam Kebebasan Berekspresi!

Oleh: Ika Rini Puspita

NusantaraInsight, Makassar — Pemerintah telah menandatangani perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pada 2 Januari 2024. Perubahan Kedua terhadap UU ITE 2.0 memberikan wajah dan fitur baru UU ITE yang lebih progresif dan komprehensif dalam mengatur penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik serta pengaturan pidana. UU ITE 2.0 merevisi 12 pasal lama menjadi 14 pasal dan menambah 5 pasal baru. Perubahan kedua UU ITE dilatarbelakangi kebijakan strategis pemerintah dalam menjaga ruang digital Indonesia yang bersih, sehat, beretika, produktif, dan berkeadilan (Kompas.com,5/1/24).

Meski sudah direvisi, tapi Koalisi Masyarakat Sipil untuk Advokasi UU ITE tetap memberikan catatan terhadap amandemen kedua UU ITE ini. Sebab, UU Nomor 1 Tahun 2024 ini dinilai belum menyelesaikan masalah dalam kebebasan berekspresi di Indonesia. “Revisi UU ITE masih memuat pasal-pasal bermasalah seperti pencemaran dan penyerangan nama baik, ujaran kebencian, informasi palsu, dan pemutusan akses. Pasal-pasal bermasalah tersebut akan memperpanjang ancaman bagi publik mendapatkan informasi serta hak kebebasan berekspresi di Indonesia,” kata Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), M. Isnur, dalam keterangan tertulis, Jumat (5/1/2024).

BACA JUGA:  Belajar Jurnalisme Radio Dengar Symphony No 5 Beethoven

Kalau misal kita melihat, revisi UU ITE kesannya sangat buru-buru di tengah hiruk-pikuk persiapan pesta demokrasi. Apalagi pembahasan revisi UU ITE yang tertutup ini mengindikasi adanya permainan kepentingan atau untuk menyerang lawan politik yang tidak sejalan. Pasal karet ini, juga membuka peluang terjadinya kriminalisasi umat Islam yang selalu dijadikan sebagai tertuduh.

Karena selama ini, fakta di lapangan UU ITE kerap kali memunculkan kegaduhan karena pasal karetnya. Malah pengamat melihat isi revisi tidak menghilangkan masalah justru malah mempertahankan masalah lama. Seperti pasal-pasal yang kerap kali bermasalah diantaranya: Pasal 27 ayat (1) hingga (4) yang kerap dipakai untuk mengkriminalisasi warga sipil; Pasal 28 ayat (1) dan (2) yang kerap dipakai untuk membungkam kritik; hingga ketentuan pemidanaan dalam Pasal 45, 45A, dan 45B. DPR bersama pemerintah juga menambahkan ketentuan baru, salah satunya Pasal 27A tentang penyerangan kehormatan atau nama baik orang. Dengan ketentuan ini masih bersifat lentur seperti karet dan berpotensi mengkriminalisasi masyarakat yang kritis. Pasal baru lainnya adalah Pasal 27B tentang ancaman pencemaran.