Rahman Rumaday, Tanpa Jejak

Saat namanya akhirnya dipanggil dalam prosesi wisuda, seorang adik idiologis namanya Rezky Amalia Syafiin menulis tentang dirinya kemudian diterbitkan di media online dengan judul kisahnya berisi nada yang menyiratkan ironi sekaligus penghormatan : “Mahasiswa Penjelajah Kampus Akhirnya Wisuda Juga.” https://www.nusantarainsight.com/opinion-profile/rahman-rumaday-mahasiswa-penjelajah-kampus-akhirnya-wisuda-juga/
Bukan tanpa alasan. Ia telah melintasi begitu banyak jalan akademik, hingga orang-orang di sekitarnya nyaris tak percaya bahwa hari itu akhirnya tiba dia wisuda juga. Namun, bagi Rahman Rumaday, wisuda bukanlah puncak perjalanan hanya sebuah persinggahan yang kebetulan ia singgahi. Dan juga seorang wartawan senior (Asnawin Aminuddin) membuat tulisan dan menerbitkan di media miliknya (Pedoman Karya) dengan judul “Rahman Rumaday, Lahir di Maluku, Sekolah di Papua, Sarjana di Makassar” (Jumat, Desember 13, 2019) https://www.pedomankarya.co.id/2019/12/rahman-rumaday-lahir-di-maluku-sekolah.html?m=1

Lebih mengejutkan lagi, ia bukan hanya lulus, ia lulus dengan predikat mahasiswa terbaik, dengan angka kredit yang hampir sempurna. Namun, penghargaan itu tidak berarti banyak baginya. Ia tidak mencari angka, tidak mengejar pujian. Baginya, nilai hanya sekadar angka di atas kertas, dan ijazah hanyalah formalitas administratif pemenuhan sistem sebuah negara.

BACA JUGA:  Prof. Ahmad Thib Raya Jabat Rektor Unswa Bima

_”Ketahuilah, bahwa ilmu adalah cahaya (nur).” Sifat cahaya yang paling utama adalah memberi penerang. Mengusir kegelapan juga menjadi salah satu tujuan munculnya cahaya.”_

Pernah suatu ketika, ia menghadap dosennya dengan sebuah permintaan yang tak lazim. Ia meminta agar nilai A yang diberikan kepadanya diturunkan menjadi C. Dosen itu terheran-heran, bahkan mengaku seumur hidupnya mengajar sebagai dosen, belum pernah ada mahasiswa yang meminta nilainya diturunkan. Biasanya, mahasiswa datang dengan harapan sebaliknya, memohon perbaikan nilai, mengajukan banding untuk sekadar naik satu huruf atau satu angka. Tapi Rahman Rumaday berbeda. Ia ingin kejujuran dan pengabdian lebih dari sekadar angka.

“Bagi saya,” katanya, “yang terpenting bukanlah nilai, tetapi bagaimana ilmu yang saya pelajari dapat bermanfaat bagi sesama.”

Sebab, baginya, pendidikan bukan soal angka-angka yang berbaris rapi di transkrip nilai, bukan pula tentang gelar yang bisa disematkan di belakang nama. Pendidikan adalah tentang kebermanfaatan. Tentang bagaimana ilmu itu digunakan untuk orang lain. Ia percaya bahwa sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesama, bukan yang sekadar memiliki nilai sempurna di atas kertas.