Pemalsuan gelar di ruang akademik adalah satu hal, tetapi membawanya ke proses hukum formal adalah hal lain yang jauh lebih berbahaya. Dalam dunia akademik, gelar palsu menghancurkan reputasi; dalam dunia hukum, gelar palsu dapat menghancurkan keadilan.
Fenomena “Profesor Palsu” ini seharusnya menjadi peringatan keras bahwa integritas bukan sekadar teori. Ia adalah fondasi profesi apa pun, terutama profesi yang berbasis ilmu pengetahuan dan moral. Keberanian memalsukan gelar sekaligus meminta “uang damai” berlebihan adalah bentuk kemunduran etika. Dunia kampus yang seharusnya menjadi benteng nilai-nilai luhur justru tercoreng oleh perilaku individunya sendiri.
Pada akhirnya, gelar profesor tidak pernah diukur dari huruf yang menempel di depan nama. Ia diukur dari kedalaman moral, ketekunan ilmiah, dan komitmen terhadap kebenaran.
Mereka yang memalsukannya mungkin terlihat besar dari jauh, tetapi semakin dekat diperhatikan, semakin tampak betapa kosongnya mereka.
Penggunaan gelar profesor palsu dan pemberian keterangan tidak benar dalam BAP merupakan pelanggaran serius terhadap kode etik akademik.
Konsekuensinya, dosen dapat dikenai pemeriksaan etik, pencabutan jabatan fungsional, pembekuan tunjangan, hingga sanksi disiplin dari universitas dan Kemenristekdikti.
Dari sisi hukum, tindakan tersebut dapat masuk pada keterangan palsu dalam dokumen resmi, sumpah palsu, dan bahkan pemerasan jika disertai permintaan “uang damai” yang tidak wajar.
Pelanggaran Pasal 266 KUHP: memasukkan keterangan palsu ke dalam akta otentik. Dan Pasal 242 KUHP: sumpah palsu. Serta Pasal 372/378 KUHP jika terbukti ada motif pemerasan dengan kedok “uang damai”.
Pelanggaran ini berpotensi menjerat pelaku dengan proses pidana, dan rusaknya reputasi akademik secara permanen.
Semoga Kebenaran masih bisa tegak di bumi pertiwi.
Makassar, 18 November 2025







br






