Tujuh Tahun Gempa, Tsunami & Likuefaksi Palu (1): Dunia Bagaikan Sudah Kiamat

Likuefaksi
KM Sabuk Nusantara 39 "mendarat" di Pantoloan. (Foto:MDA).

Oleh M.Dahlan Abubakar

Pengantar:
Hari ini, 28 September 2025, genap tujuh tahun peristiwa gempa, tsunami, dan likuefaksi ‘mengobok-obok” Palu Sulawesi Tengah. Catatan di media sangat terbatas mengenang peristiwa kelam yang menelan banyak korban jiwa dan harta tersebut. Mulai hari ini, media ini menurunkan catatannya, mengenang musibah alam itu. (Redaksi).

NusantaraInsight, Makassar — Petang hari tanggal 28 September 2018, menumpang bus BMA saya meninggalkan Kota Makassar menuju Kabupaten Pinrang untuk bergabung dengan teman-teman Pengurus KONI Sulawesi Selatan ‘mengawal’ Pekan Olahraga Daerah (Porda) XVI yang baru sehari lewat dibuka.

Menjelang magrib, bus penumpang kapasitas 12 hari yang hari itu tidak penuh, mampir di sebuah kedai penjual roti Maros, tak jauh dari jembatan baru Maros. Tampaknya kedai ini sudah menjadi langganan sopir bus kecil ini.

Bus mini meluncur, menguak hari yang mulai gelap. Diikuti saya yang mulai lelap. Tiga jam kemudian, saya tiba di hotel, tempat Pengurus KONI Sulsel menginap selama Porda XVI berlangsung. Teman-teman wartawan heboh. Ada yang ingin meninggalkan ajang Porda dan berniat ke Palu, Sulawesi Tengah. Pastilah ada berita besar di sana.

BACA JUGA:  Apakah Pacaran Membatalkan Puasa?

Dari bincang-bincang singkat malam itu, ternyata Palu Sulawesi Tengah baru saja diluluhlantakkan gempa bumi, tsunami, dan likuefaksi (tanah bergeser) nan tiada taranya. Kejadiannya sangat miris.

Saat umat Islam sedang bersiap-siap menunaikan salat magrib ketiga bumi bergoncang keras pada pukul 18.02 tanggal 28 September 2018. Banyak orang memperkirakan – meskipun belum pernah merasakan – dunia bagaikan menuju kiamat.

Di Sulawesi Selatan getaran gempa itu juga terasa. Saya yang sedang pulas di atas bus mini dalam perjalanan sejauh 187 km di sebelah utara Kota Makassar magrib itu, jelas tidak merasakan goyangan sama sekali.

Catatan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyebutkan, gempa tersebut berkuatan 7,4 pada skala richter (SR).

Pusat gempa 28 km di utara Donggala dan 80 km barat laut Kota Palu dengan kedalaman 10 km. Gempa itu dirasakan di Kabupaten Donggala dan Kota Palu serta sekitarnya. Juga di Kabupaten Parigi Moutong.

Air setinggi 5 m, meskipun ada yang menyebut tsunami menjulang sampai 7 m, dialami Donggala.

BACA JUGA:  TELAH LAHIR GENERASI Z

Gempa itu menggoyang Palu dan sekitarnya selama antara 3-7 menit, suatu goncang paling lama yang pernah terjadi.

Pantas saja, banyak orang yang sedang berjalan dan berada di dalam rumah mereka tumbang dan terpelanting kiri kanan.

Sebuah kapal Pelni Sabuk Nusantara 39 berukuran kecil, terlempar “mendarat” berada dan diapit dua bangunan. Hingga kunjungan saya 22 November 2018 — hampir dua bulan pascagempa — kapal milik badan usaha milik negara (BUMN) itu masih “nongkrong” di darat.