Surat Buat Kapolri: Ketika “Restorative Justice” Diabaikan, Badai NTB pun Ditahan

Seorang tersangka dapat ditahan jika diancam pidana penjara 5 tahun. Atau dari sisi subjektif penyidik dikhawatirkan tersangka melarikan diri, menghilangkan barang bukti atau mengulangi perbuatannya. Tetapi alasan subjektif pun tidak dapat diterima karena Badai NTB tokh berkeliaran di wilayah NTB dan dengan mudah ditemukan. Dia selalu muncul di depan publik.

Yang lebih lucu dan aneh, mengapa penyidik tidak menyelesaikan kasus antarsahabat ini dengan menggunakan “restorative justice” (keadilan restoratif) sesuai Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2021 itu, dan banyak dipilih untuk penyelesaian secara damai kasus-kasus yang bahkan lebih besar dari kasus Badai NTB. Dengan keadilan restoratif, antara pelapor dan terlapor dapat dimediasi agar dapat terjadi rekonsiliasi. Tokh keduanya bersahabat. Keadilan restoratif ini dapat mengurangi dampak negatif pada korban atau pun pelaku. Penyidik mengabaikan keadilan restoratif ini, padahal kasusnya penganiayaan ringan. Keengganan ini semakin memantik kecurigaan kasus ini sarat dengan kriminalisasi.

Data informasi pertama ini semakin menguatkan dugaan bahwa penyidik menciptakan kasus baru bagi Badan NTB agar dapat dijerat dan ditahan, meskipun itu penuh dengan kecurigaan. Pertanyaannya adalah, mengapa Badai NTB tidak ditahan dengan kasus pengungkapan sejumlah nama oknum polisi yang ditengarai sebagai pihak yang terlibat dalam bisnis narkoba di Kabupaten/Kota Bima dan Dompu dengan menggunakan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)? Saya menduga, jika dengan UU tersebut Badai NTB akan duduk di meja hijau, maka akan terbongkar semua apa yang sebenarnya disembunyikan. Sebab, keterlibatan oknum dalam bisnis haram bukan menjadi rahasia umum lagi. Kita masih ingat oknum Mayjen Pol. Teddy Minahasa?

BACA JUGA:  Pertumbuhan Ekonomi Tahun 2024

Singkatnya, kasus Rara sengaja diciptakan sebagai pintu masuk menjerat Badai NTB ke tahanan dan inilah yang terjadi sekarang. Meskipun alasan subjektif penyidik, Badai NTB ditahan karena takut melarikan diri, menghilangkan barang bukti, dan mengulangi perbuatannya adalah sesuatu yang tidak dapat diterima. Badai NTB mau melarikan diri ke mana? Barang bukti kan sudah ada di penyidik? Mau mengulangi tindakan, mustahil, tokh yang terlibat dalam kasus ini adalah sahabatnya sendiri. Semua ini menimbulkan pertanyaan besar di benak publik.

Mencederai psikologis’

Polres Bima Kota mengumbar informasi sekitar pemberian “trauma healing” (pemulihan trauma) kepada Badai NTB. Meskipun ini diakui sudah menjadi standar operasional prosedural (SOP) – proses operasional standar –, namun pemberian perlakuan ini, apalagi disertai dengan informasi bahwa Badai NTB tidak mau makan, tidak mau menerima telepon dari orang tuanya, tidak mau berbicara dengan polisi, dan menendang-nendang jeruji ruang tahanan, merupakan bentuk APH mencederai, bahkan meruntuhkan sisi psikologis Badai NTB yang diinformasikan ke publik.