Surat Buat Kapolri: Ketika “Restorative Justice” Diabaikan, Badai NTB pun Ditahan

Tujuan keadilan restoratif adalah memberikan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum bagi masyarakat, khususnya bagi mereka yang beperkara hukum. Syarat bagi penempuhan keadilan restoratif adalah perkara bersifat ringan atau delik aduan. Tidak menimbulkan konflik sosial atau keresahan masyarakat. Pelaku dan korban bersedia berdamai. Dalam kasus Badai NTB ini, antara pelaku dengan korban adalah bersahabat.
Contoh keadilan restoratif dapat diberlakukan pada tindak pidana ringan, seperti penganiayaan yang tidak menimbulkan korban jiwa atau luka berat atau pada kasus pencurian ringan.

Penerapan keadilan restoratif bisa mengurangi beban kerja aparat penegak hukum, mempercepat penyelesaian perkara, dan meningkatkan kepuasan masyarakat.
Jadi Keputusan Kapolri itu sudah jelas dan sangat tepat digunakan untuk menyelesaikan kasus Badai NTB ini. Ini menjadi pertanyaan besar publik yang cinta akan perjuangan Badai NTB.
Dalam pemberitaan, pihak penyidik tidak secara terperinci alasan mengapa peristiwa penganiayaan dan perusakan itu terjadi. Hanya disebutkan situasi sebelum kejadian baik-baik saja. Pembaca bertanya-tanya, kok sahabat dianiaya? Apa penyebabnya?

BACA JUGA:  Pengantar Buku Saudagar Dunia Akhirat

Sebagai seorang jurnalis, informasi-informasi ini memicu dan memantik rasa ingin tahu sekaligus kecurigaan. Pertanyaan mengapa (why) layak dialamatkan ke masalah ini. Dari banyak buku terkait proses kerja-kerja intelijen, sangat memahami bahwa aparat penegak hukum (APH) tidak mau berkomentar banyak terhadap kasus yang sedang menarik perhatian publik. Mereka takut di balik informasi yang dijejernya akan terjebak dan dapat dikenali informasi palsu.
Informasi karangan oknum APH sudah banyak terbukti tidak sesuai kenyataan. Jangankan, pada level terendah, pada level tertinggi pun penyampaian informasi palsu terhadap suatu kasus itu pernah terjadi. Kita tentu masih ingat dengan kasus Ferdy Sambo? Korban yang meninggal, Nofriansyah Joshua Hutabarat itu, disebut terlibat tembak menembak dengan Brigadir Richard Eliezer, ajudan Ferdy Sambo. Apa yang terungkap di dalam sidang, kita sudah maklumi semuanya. Itu adalah rekayasa. Itu dilakukan oleh oknum petinggi Propam Mabes Polri.

Rekayasa informasi seperti ini bukan hal baru. Sudah sering terjadi dalam dunia hukum kita. Masih ingatkah juga kita, mobil mantan Ketua DPR RI Setya Novanto dilaporkan menabrak tiang listrik, hingga harus dilarikan ke rumah sakit. Padahal, ini adalah rekayasa belaka yang dilakukan secara apik.

BACA JUGA:  KOTA MAKASSAR SIAP MERAIH SWASTI SABA

Melihat kronologis kejadian itu kurang lengkap, saya menduga, bisa saja kasus Rara ini sengaja diciptakan agar menjadi pintu masuk bagi APH untuk menjerat Badai NTB ke tahanan. Kita lihat saja, dia dijerat dengan pasal 351 KUHP dengan pasal penganiayaan. Dalam kasus ini, korban mengalami luka memar, jadi masuk kategori pengianyaan biasa dengan pidana penjara 2 tahun 8 bulan atau pidana denda paling banyak Rp 4.500. Sehingga, tersangka tidak layak ditahan.