Meritokrasi Birokrasi NTB

Beragam kritik atau paling tidak catatan diberikan kepada sistem meritokrasi ini (Sandel, 2020). Berikut adalah beberapa diantaranya (sumber: uii.ac.id):

_Pertama_ terkait dengan ketidaksetaraan awal. Meritokrasi berasumsi bahwa setiap individu memiliki akses yang sama terhadap peluang pendidikan dan pengembangan keterampilan. Namun, di banyak masyarakat, faktor-faktor seperti latar belakang ekonomi, etnis, dan geografi dapat menciptakan ketidaksetaraan awal yang sulit diatasi.

_Kedua_ adalah soal pelanggengan ketidaksetaraan. Sistem meritokrasi dapat menjadikan ketidaksetaraan tetap ada dan bahkan membesar, karena individu yang sudah memiliki keunggulan awal memiliki peluang lebih besar untuk mencapai keberhasilan dan keunggulan berkelanjutan.

_Ketiga_ berhubungan dengan kecenderungan mengabaikan aspek kemanusiaan. Fokus yang terlalu besar pada hasil dan keunggulan dapat mengabaikan aspek kemanusiaan seperti keadilan sosial, perawatan terhadap individu yang kurang beruntung, dan kebutuhan sosial yang lebih luas.

_Keempat_ berkaitan dengan jebakan fokus pada hasil singkat. Sistem meritokrasi sering kali fokus pada hasil akhir, seperti pencapaian kinerja atau penilaian kinerja karyawan. Hal ini dapat mengabaikan proses atau metode yang digunakan untuk mencapai hasil tersebut, yang pada gilirannya dapat mengakibatkan perilaku tidak etis atau penyalahgunaan.

BACA JUGA:  Surat Buat Kapolri: Ketika “Restorative Justice” Diabaikan, Badai NTB pun Ditahan

Namun demikian, catat Heru Samosir, meritokrasi dalam konteks pengutamaan IQ dan _effort,_ dikhawatirkan akan memunculkan masyarakat yang disebut Young (1959) sebagai _distopia._ Jadi, dalam konteks yang lebih luas, penerapan meritokrasi perlu mempertimbangan adanya upaya untuk mengurangi ketimpangan melalui penekanan keberpihakan pada kelompok tertinggal atau kelompok marjinal yang pada dasarnya memiliki kondisi awal yang tidak sama baik secara pendidikan maupun kemampuan ekonomi. Penerapan meritokrasi berdasarkan kompetisi dengan prasyarat transparansi dan ketidakberpihakan di satu sisi diperlukan, tetapi dengan konteks kondisi masyarakat yang setara.

*Penutup*

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 tahun 2014 tentang ASN, Sistem Merit adalah kebijakan dan Manajemen ASN yang berdasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar dengan tanpa membedakan latar belakang politik, ras, warna kulit, agama, asal usul, jenis kelamin, status pernikahan, umur, atau kondisi kecacatan.

Sementara itu dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2023, Sistem Merit merupakan penyelenggaraan sistem Manajemen ASN sesuai dengan prinsip meritokrasi.