Keyakinan Israel pada Janji Tuhan 3500 Tahun Lalu

Oleh Aslam Katutu

NusantaraInsight, Makassar — Selama ribuan tahun, bangsa Israel hidup dengan satu keyakinan yang terus diwariskan dari generasi ke generasi: bahwa mereka adalah umat pilihan Tuhan, dan bahwa tanah Kanaan—yang kini dikenal sebagai Palestina—dijanjikan kepada mereka oleh Tuhan sekitar 3500 tahun yang lalu. Keyakinan ini bukan sekadar narasi religius, melainkan telah menjelma menjadi fondasi ideologis, politik, dan militer dari negara Israel modern.

Dalam kitab suci mereka, bangsa Israel merujuk pada janji yang diyakini diberikan Tuhan kepada Nabi Ibrahim (Abraham), Ishak, dan Ya’kub, serta keturunan mereka. Janji itu menyatakan bahwa mereka akan mewarisi tanah yang membentang “dari Sungai Mesir hingga ke Sungai Efrat”, wilayah yang mencakup sebagian besar tanah Arab saat ini. Bagi umat Yahudi yang taat, ini bukan sekadar cerita masa lalu, melainkan klaim sejarah suci yang sahih dan wajib diperjuangkan.

Namun, persoalannya menjadi rumit ketika keyakinan ini bertabrakan dengan realitas politik dan kemanusiaan di abad modern. Ketika bangsa Israel kembali mendirikan negara mereka pada tahun 1948 di tanah yang saat itu dihuni mayoritas oleh bangsa Palestina, keyakinan terhadap janji Tuhan itu dijadikan pembenaran atas pendudukan, pengusiran, dan penjajahan. Maka lahirlah konflik panjang yang hingga kini belum menemukan jalan damai.

BACA JUGA:  Kemunafikan Israel Soal Senjata Nuklir

*Keyakinan yang Menjadi Ideologi Negara*

Negara Israel bukan hanya didirikan atas dasar realitas politik pasca-Holocaust dan kolonialisme Inggris di tanah Palestina. Ia dibangun atas basis ideologis Zionisme, sebuah gerakan nasionalis Yahudi yang lahir pada akhir abad ke-19, yang mengklaim bahwa orang Yahudi memiliki hak sejarah dan spiritual atas tanah Palestina. Zionisme menyatukan identitas agama, bangsa, dan tanah menjadi satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.

Bagi para Zionis, “kembalinya” bangsa Yahudi ke tanah Palestina adalah penggenapan nubuat dan janji Tuhan. Ini bukan proyek politik biasa, tetapi misi ilahi. Maka tidak heran jika sebagian kelompok ekstremis di Israel meyakini bahwa apa pun yang dilakukan demi merebut atau mempertahankan tanah itu—termasuk kekerasan—adalah bentuk ketaatan kepada Tuhan.

Pemukiman ilegal di Tepi Barat, pengusiran warga Palestina, dan bahkan tindakan agresi militer sering dibenarkan dengan merujuk pada kitab suci. Para pemukim menyebut tanah yang mereka duduki sebagai bagian dari “Eretz Yisrael”, atau Tanah Israel yang dijanjikan. Dan bagi mereka, tidak ada kompromi terhadap apa yang telah “dijanjikan oleh Tuhan”.