Itu semuanya bagian dari sistem yang melanggengkan diskriminasi rasial.
Namun dalam buku pelajaran, isu ini direduksi atau bahkan dihapus sama sekali.
Murid-murid diajarkan bahwa rasisme adalah kesalahan individu, bukan sistemik.
Loewen mengecam ini sebagai bentuk pembungkaman terhadap penderitaan sejarah yang belum selesai.
Ia menunjukkan bagaimana penghapusan ini merugikan semua pihak: siswa kulit putih dibesarkan tanpa empati dan kesadaran sejarah, sementara siswa kulit hitam tumbuh tanpa narasi yang mencerminkan realitas mereka.
Lebih buruk lagi, tanpa memahami akar sejarah ketimpangan, masyarakat akan terus mengulangnya.
Rasisme bukan sekadar masa lalu yang kelam, tetapi bayang-bayang yang terus membentuk kebijakan dan sikap sosial hari ini.
Loewen menyerukan agar sejarah rasisme diakui secara jujur, tanpa peringanan, agar penyembuhan kolektif bisa terjadi.
Dengan menghindari topik ini, pendidikan Amerika telah gagal menjalankan fungsi utamanya: mempersiapkan warga negara yang peka, kritis, dan adil.
-000-
Gagasan keempat yang dibongkar Loewen adalah bagaimana pendidikan sejarah dirancang agar membosankan dan jinak.
Buku-buku pelajaran dibuat setebal batu bata, penuh dengan nama, tanggal, dan fakta-fakta beku yang tak menggugah.
Konflik dihaluskan, kontroversi dihindari, dan pertanyaan kritis diredam.
Tujuannya jelas: menciptakan siswa yang patuh, bukan berpikir.
Sejarah kehilangan nyawanya sebagai arena dialektika moral dan intelektual.
Padahal sejarah yang hidup adalah sejarah yang menggugah: yang membuat siswa bertanya, berpihak, dan merenung.
Loewen menyatakan bahwa kebosanan yang disengaja ini adalah strategi politik: anak muda yang bosan tidak akan menantang status quo.
Ia menginginkan agar sejarah disampaikan dalam bentuk narasi yang hidup, penuh pertanyaan terbuka, dan memancing debat.
Sejarah bukan sekadar hafalan, tetapi percakapan lintas waktu tentang siapa kita, dan siapa yang ingin kita jadi.
Ia memberi contoh bagaimana siswa yang belajar melalui dokumen primer, wawancara, dan eksplorasi lokal menjadi lebih terlibat dan kritis.
Pendidikan sejarah seharusnya bukan pengalengan masa lalu, tapi pembebasan cara berpikir.
Dan itu hanya mungkin jika guru dan buku pelajaran berani menyingkap kompleksitas sejarah, bukan menyembunyikannya di balik angka dan nama.
-000-
Gagasan kelima yang menjadi benang merah seluruh buku ini adalah: bangsa yang tak jujur pada masa lalunya, akan kehilangan arah di masa depan.
Loewen percaya bahwa pengajaran sejarah yang jujur, yang mengakui kesalahan dan luka, adalah prasyarat bagi kematangan bangsa.