KETIKA SEJARAH TAK MENCERITAKAN YANG SEBENARNYA

Dengan menolak menunjukkan sisi kelam para tokoh, pendidikan sejarah di Amerika lebih mirip dengan kultus kepahlawanan.

Ini menciptakan kebanggaan kosong, bukan pemahaman mendalam.

Sejarah direduksi menjadi dongeng nasional.

Padahal, jika tokoh besar itu ditampilkan secara manusiawi—dengan keagungan dan kegagalannya—barulah siswa bisa belajar.

Bahwa kebesaran lahir bukan dari kesempurnaan, tetapi dari perjuangan batin dan keberanian mengakui kesalahan.

-000-

Gagasan kedua yang ditegaskan Loewen adalah penghapusan peran rakyat kecil dan kelompok minoritas dalam narasi sejarah resmi.

Buku pelajaran seolah hanya mengenal tokoh-tokoh elite: presiden, jenderal, pemimpin perang, dan konglomerat.

Sementara suara para petani, buruh, perempuan, warga kulit hitam, penduduk pribumi, dan imigran—yang sesungguhnya membentuk nadi sejarah Amerika—sering dihapus atau disingkirkan ke pinggiran.

Padahal tanpa perjuangan mereka, Amerika tidak akan pernah menjadi seperti sekarang.

Contoh nyata adalah perlawanan perempuan dalam gerakan hak suara, peran buruh dalam menegakkan jam kerja manusiawi, hingga kontribusi komunitas Afrika-Amerika dalam membentuk kebudayaan Amerika modern.

Tetapi semuanya nyaris absen dari buku pelajaran.

BACA JUGA:  TAJAMKAN PENAMU

Loewen menyayangkan bahwa sejarah yang diajarkan di ruang kelas lebih menyerupai parade para pahlawan besar, bukan potret kehidupan rakyat.

Ia menyebutnya sebagai bentuk pengucilan kolektif terhadap kontribusi mereka yang terpinggirkan.

Padahal pendidikan sejarah yang sehat justru harus memperlihatkan dinamika sosial dari bawah.

Dari cerita tentang pemogokan buruh, perjuangan hak sipil, hingga komunitas-komunitas kecil yang mempertahankan budaya dan martabatnya di tengah arus dominasi.

Dengan menyertakan mereka, sejarah menjadi lebih kaya, lebih manusiawi, dan lebih jujur.

Anak-anak pun bisa melihat bahwa perubahan bukan hanya datang dari atas, tetapi juga dari bawah—dari orang biasa yang memilih untuk tidak diam di hadapan ketidakadilan.

Dalam hal ini, Loewen mengajak kita untuk menulis sejarah sebagai simfoni banyak suara, bukan monolog elite yang membungkam sisanya.

-000-

Gagasan ketiga yang sangat kuat dalam buku ini adalah penolakan sistemik terhadap pengakuan peran rasisme dalam sejarah Amerika.

Loewen menunjukkan bahwa rasisme bukan sekadar bagian kecil dari sejarah, melainkan struktur yang menopang berdirinya institusi negara.

BACA JUGA:  Kembali Fokus ke Gaza

Dari perbudakan yang menjadi fondasi ekonomi Amerika, segregasi hukum dalam Jim Crow Laws, hingga ketimpangan pendidikan dan perumahan yang diwariskan hingga kini.