Kemiskinan Versi Bank Dunia

Dengan memahami konsep garis kemiskinan yang benar, maka kemiskinan tidak dapat diterjemahkan sebagai pendapatan per orang, dan bahkan tidak bisa diartikan sebagai gaji 20 ribu/hari bukan orang miskin.

Terakhir, perlu dipahami pula bahwa penduduk yang berada di atas garis kemiskinan (GK) belum tentu otomatis tergolong sejahtera atau kaya. Di atas kelompok miskin, terdapat kelompok rentan miskin (1,0-1,5 x GK), kelompok menuju kelas menengah (1,5-3,5 GK), kelas menengah (3,5-17 x GK), dan kelas atas (17 x GK). Kondisi September 2024, persentase kelompok miskin adalah 8,57 persen (24,06 juta jiwa), kelompok rentan miskin adalah 24,42 persen (68,51 juta jiwa); kelompok menuju kelas menengah 49,29 persen (138,31 juta jiwa), kelas menengah 17,25 persen (48,41 juta jiwa), dan kelas atas 0,46 persen (1,29 juta jiwa).

*Penutup*

Beberapa rekomendasi kebijakan dapat dilakukan pemerintah (Mohammad Nur Rianto dalam Kompas.com: 06/05/2025, 09:44 WIB)

*Pertama* , revisi strategi penanggulangan kemiskinan: dari sekadar pendekatan bantuan sosial menuju pembangunan kapasitas dan pemberdayaan ekonomi.

*Kedua* , targetkan kelompok “rentan miskin”: mereka yang hidup di antara garis BPS dan garis 6,85 dollar AS adalah kelompok terbesar yang berisiko terperosok kembali.

BACA JUGA:  Pertumbuhan Ekonomi Di Tengah Ketidakpastian

*Ketiga* , perluas cakupan data dengan melakukan integrasikan data kemiskinan moneter, multidimensional, dan spasial untuk analisis yang lebih presisi.

*Keempat* , fokus pada pembangunan daerah khususnya kawasan timur Indonesia yang memiliki kemiskinan struktural.

Garis kemiskinan bukan sekadar angka, melainkan cermin dari bagaimana suatu negara menilai dan merespons penderitaan warganya. Kenaikan status Indonesia menjadi negara berpendapatan menengah atas adalah prestasi, tetapi sekaligus tantangan. Standar hidup masyarakat harus menyesuaikan dengan ekspektasi global.

Perbedaan besar antara angka kemiskinan versi BPS dan Bank Dunia harus menjadi alarm bahwa kemiskinan belum benar-benar tertanggulangi. Selama masih ada kesenjangan dalam akses pendidikan, kesehatan, dan lapangan kerja, maka kemiskinan tetap menjadi realitas yang menjerat jutaan orang.

Sudah saatnya kita meninggalkan pendekatan sempit yang hanya berfokus pada angka dan mulai merumuskan kebijakan berbasis kebutuhan manusia yang nyata. Dengan begitu, Indonesia tidak hanya naik kelas secara statistik, tetapi benar-benar maju dalam hal kesejahteraan rakyatnya.

#Akuair-Ampenan, 19-05-2025