Bedah Buku: Heterarki Masyarakat Muslim Indonesia

Heterarki
ki-ka: Prof. Dr. Atun Wardatun, Prof. Dr. Abdul Wahid, Prof. Dr. Nuriadi dan Dr. Saipul Hamdi

Heterarki itu tidak melulu melihat masyarakat muslim itu dari realitanya, karena ada bahaya jika orang melihat masyarakat itu secara hierarkis. Karena masyarakat pun melihat dirinya sendri, misalnya kalau aku berada di bawah maka setrusnya di bawah, ah tidak mungkin aku jadi atau tahu dirilah kalau mau jadi Pak Lurah karena tidak ada trah keturunan. Padahal kita yang ada di bawah yang menunggu giliran/kesempatan untuk berada ke atas itu 80%. Sementara yang di atas hanya 20% atau 10%. Tak ada perubahan sosial. Itu fungsi kedua teori ini adalah menawarkan cara pandang.

Cara pandang implikasi praktisnya adalah politik. Jadi kami memandang buku ini dengan judul heterarki politik akademik, politik wacana, writing a book is politic, writing a poem is politic juga.

“Dengan menancapkan kesadaran heterarki ke dalam diri kita, yang diartikan tidak ada kekuasaan yang terlalu, wa tilkal-ayyamunudaawiluhaa bainan-naas: itu hiterarki, kekuasaan itu akan dipergilirikan diantara manusia, diantara kalian,” ujar Guru Besar Universitas Islam Negeri Mataram, sebagaimana juga tertulis di halaman 272 sebagai Bahasa Al-Qur’an.

BACA JUGA:  Ada Apa "Sang Karaeng di IGD" Bikin Heboh

Teori itu adalah leading the change. Memberi arahan dalam melihat realita kemudian ada kesadaran lalu dengan teori itu change the lead. Perubahan itu di arahkan dengan teori-teori. Banyak sekali kejadian-kejadian perubahan sosial yang terjadi di belahan dunia diarahkan oleh teori. Kapitalisme, diarahkan teori. Tumbuhnya negara-negara sosialisme diarahkan teori. Itu pentingnya kesadaran teori.

Perkembangan masyarakat muslim, masyarakat secara keseluruhan sangat luar biasa, berupa perubahan pola pikir, perubahan moda komunikasi, perubahan struktural, perubahan material dan dulu di masyarakat ruang-ruang pengetahuan sangat terbatas, seperti mesjid, sekolah, pondok pesantren.

Adakah wilayah pengetahuan lain? Ada, itu yang kami tunjukkan dalam penelitian peer group based intelectualism adanya misalnya di kost anak-anak, tidak di mesjid, tidak di madrasah, tidak di universitas. Mereka ada dan tumbuh, sehingga terbuka celah atau lorong bagi kita untuk menggerakkan perubahan sosial.

Kata kunci dalam buku ini adalah perubahan sosial. Kita punya tugas besar untuk melakukan perubahan sosial. Ada kata-kata menarik dari puisinya Emha Ainun Majid: Kita sibuk menghitung jumlah umat kita yang berjuta-juta tetapi pas pemilu lho kok kalah lagi. Jadi perubahan sosial itu harus dilahirkan mulai cara pandang heterarki dan diisi oleh aspek-aspek lain yang disebut Prof. Atun sebagai agensi kolektif.