Pertama, tentang penjudulan. Buku ini merupakan puncak konsep intelektualitas. Ibarat kata menjadi guru besar harus melahirkan teori. Tanggung jawab moral dua Prof AW adalah buku ini. Walaupun dengan kajian yang berbeda-beda tetapi simpulnya adalah Hiterarki.
“Ini contoh bagi kita, jangan jadi GBHN: Guru Besar Hanya Nama,” kata Prof. Nuriadi
Maka pertanyaannya adalah di manakah Indonesia itu, karena sebagian besar yang dibicarakan adalah Bima. Dengan menggunakan adagium Barat, Prof. Nuriadi menyebut bahwa kedua Prof. AW ini sebagai “penganut” pars pro toto totum pro parte: sebagian mewakili keseluruhan, keseluruhan mewakili sebagian.
“Tampaknya kita membaca buku ini dalam konteks itu. Sehingga kita terjebak dalam kritik yang mengarah debatable. Karena istilah representatif di buku ini tidak mencermin hal seperti itu. Tapi kalau kita melihat dalam sudut yang berbeda, maka pras pro toto totum pro parte adalah bagian yang sangat penting untuk melihat buku ini, ucap ucap Guru Besar Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Mataram.
Jadi, lanjutnya, dalam konteks ini Indenesia adalah pras pro toto!
Kedua, terkait dengan konteks isi. Di bagian prolog Prof Nuriadi melihat Prof. AW1 dan Prof. AW2 sangat kaya pemikiran. Sekian banyak ahli-ahli yang dikenal menjadi data pemikiran kata heterarki ini.
Dengan kata lain heterarki ini sebenarnya adalah gabungan atau mozaik dari pemikir-pemikir itu menjadi sesuatu yang utuh. Kemudian yang dipahami adalah ada sistem, terdiri unsur-unsur yang bertaut satu sama lain dalam bentuk lingkaran yang tidak hierarkis (top down), tapi mereka berada dalam equal (konsepnya horizontal), yang disebut oleh Prof AW1 sebagai ekuasi hegemoni. Pengikatnya adalah ekuasi hegemoni.
Hal ini masih sangat mirif dengan konsep strukturalisme fungsional. Ada struktur, di dalamnya ada unsur-unsur yang membentuk kerangka yang setiap bagian-bagiannya mempunyai fungsi sendiri-sendiri. Hanya saja, dalam bagian konsep strukturalisme fungsionalis untuk membentuk keselarasan, harmoni sosial, tetapi di sini heterarki diarahkan bukan dalam konteks untuk menyatunya ini, namun dalam konteks untuk pergantian kekuasaan-kekuasaan di antara itu.
Jadi keluarnya konsep heterarki yang ditawarkan oleh Prof AW1 dan AW2 ini adalah dia mengikuti pola pemikiran strukturalisme fungsional, tetapi dia keluar mengkaitkan dengan konsep kekuasaan. Dengan demikian, kekuasaan sifatnya cair. Bukan kekuasaan yang sifatnya padat. Kalau model feodalistik sifatnya padat atau turun temurun. Tidak bisa orang lain. Maka dalam konteks heterarki siapa pun bisa.