PAK HARTO, PAHLAWAN NASIONAL DAN KISAH KACAMATA MERAH MUDA

Oleh Denny JA

NusantaraInsight, Jakarta — Pada akhir 1990-an, sekelompok peneliti psikologi di University of Washington melakukan eksperimen sederhana namun memikat.

Mereka membagikan kacamata berwarna lembut kepada para peserta yang baru saja kembali dari perjalanan lapangan.

Para peserta diminta menilai pengalaman mereka saat itu, lalu beberapa minggu kemudian diminta menilainya kembali.

Hasilnya mencengangkan: penilaian kedua selalu lebih tinggi, lebih indah, lebih hangat.

Kacamata, baik yang benar-benar dipakai maupun yang secara metaforis tertanam dalam ingatan, telah mengubah cara manusia menatap masa lalu.

Warna merah muda pada lensa itu bukan sekadar pigmen, tetapi simbol dari kecenderungan batin kita: melunakkan masa lalu agar terasa lebih bisa diterima.

Dari situlah lahir istilah rosy retrospection bias, atau dalam bahasa sehari-hari: melihat dunia dengan kacamata merah muda.

Ini sebuah bias yang membuat kita percaya bahwa dulu segalanya lebih baik, bahkan ketika dulu pun penuh cela.

-000-

Kisah ini yang saya ingat ketika ponsel bergetar: laporan akhir tim LSI Denny JA masuk ke meja saya.

BACA JUGA:  Fiam Mustamin, Jakarta, dan Perfilman Nasional

Data itu menampilkan siapa presiden Indonesia yang paling disukai publik: dari Bung Karno, Pak Harto, Habibie, Gus Dur, Megawati, SBY hingga Jokowi.

Kaget saya melihat hasilnya. “Benarkah?” saya bertanya dalam hati.

Saya meminta mereka memeriksa ulang: barangkali ada salah ketik, salah hitung, atau salah tabulasi.

Jawabnya: tidak ada yang salah. Prosedur baku dijalankan: multi-stage random sampling, 1.200 responden, wawancara tatap muka, margin of error ±2,9 persen, bulan Oktober 2025.

Ketelitian yang sama yang membuat LSI Denny JA mampu memprediksi pemenang lima pilpres berturut-turut.

Siapa presiden Indonesia yang paling disukai pemilih dari Aceh hingga Papua?

Angka-angka itu dingin, tetapi nadinya panas:

Soeharto — 29,0 persen.
Joko Widodo — 26,6 persen.
Soekarno — 15,1 persen.
Susilo Bambang Yudhoyono — 14,2 persen.
Gus Dur — 5,0 persen.
B.J. Habibie — 5,0 persen.
Megawati Soekarnoputri — 1,2 persen.
Tidak tahu/tidak jawab — 3,9 persen.

-000-

Saya teringat kembali kisah kacamata merah muda di atas.
Apakah kita sedang mengenakan kacamata yang sama ketika menilai masa lalu?

BACA JUGA:  Kota Solo, HARSIARNAS, dan Gesang

Apakah itu sebabnya Pak Harto, sosok yang diturunkan pdi 1998, tiga puluh tujuh tahun silam, kini justru paling disukai?

Psikologi kognitif menyebutnya rosy retrospection, bias kacamata merah muda.
Seiring waktu, detail pahit era Pak Harto memudar lebih cepat, yang manis menetap lebih lama.

Yang tegang di era Pak Harto diringankan, yang keras dilapisi kelembutan. Kita menatap ke belakang dan merasa hidup dulu lebih sederhana, lebih murah, lebih tertib.

br