Mengenang Awal Reformasi 1998 Dari Ruang Rawat Inap Kutonton Presiden Berganti

NusantaraInsight, Makassar — Hari Pendidikan 2 Mei 1998 tidak seperti biasanya. Kampus gelisah. Di mana-mana. Pemimpin kampus pun resah. Para dosen juga gundah. Seorang dosen saya di Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin gamang.

Pada minggu ketiga Mei itu, merupakan hari yang menentukan bagi penyelesaian program pendidikan doktornya. Undangan ujian promosi sudah beredar. Tetapi, hatinya tidak pasti. Akankah ujian promosi dapat berlangsung dengan aman di tengah seluruh kampus di Indonesia, termasuk Kampus Tamalanrea, sedang bergolak?

Pada tanggal 19 Mei 1998, saya absen mengikuti perkuliahan magister di Program Pascasarjana Unhas. Badan panas dingin tidak terkendali. Mungkin gara-gara tidak istirahat kuliah kemudian disambung meliput aksi demo mahasiswa di depan pintu 1 Unhas. Istri yang terpaksa minta izin di kantornya, RSUP Wahidin Sudirohusodo, membawa saya ke Puskesmas Antang, sekitar 400m dari rumah.

“Bapak terkena demam berdarah,” seorang Perawat memberi tahu istri, setelah mengecek darah saya.
“Langsung saja dibawa ke rumah sakit, Bu,” sarannya lagi, kemudian kami segera meninggalkan Puskesmas yang kerap padat pengunjung itu.

BACA JUGA:  MENELITI DIMULAI DARI LOGIKA YANG KRITIS DAN RADIKAL

Istri mengemudikan sendiri mobil Kijang komando warna hijau, meluncur menuju Unit Gawat Darurat (UGD) rumah sakit. Almanak menunjuk tanggal 20 Mei 1998. Teman-teman di Unhas tentu saja baru saja kembali dari lapangan upacara di dekat Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) memperingati Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas).

Banyak pasien, termasuk beberapa orang yang luka-luka terbaring di UGD. Mungkin akibat dari aksi demo yang dilakukannya. Saya bergabung dengan mereka. Terbaring di atas tempat tidur sementara yang diantarai oleh kain horden putih yang kerap tersingkap oleh dokter dan perawat yang menginspeksi pasien.

Beberapa saat kemudian, tiba-tiba muncul dr.Idrus A.Paturusi, Sp.B, SBO.
“Kenapa toseng yang satu ini?,” tanya dr.Idrus A.Paturusi begitu melihat saya terbaring didampingi istri yang mengenakan pakaian putih-putih. Saya menunggu di UGD sembari menunggu antre memperoleh kamar tempat rawat inap. Akhirnya, atas usaha istri saya memperoleh salah satu ruangan di ruang Palm. Berbaur dengan pasien lain yang beragam penyakit.

“Saya terkenan demam demo, Dok,” jawab saya berkelakar yang memaksudkan itu adalah demam berdarah yang memang sedang merajalela. .

BACA JUGA:  Kota Pala Kota 1000 Kenangan

Malam yang terasa panjang saya habiskan dengan menonton perkembangan terakhir negara di layar TV. Khususnya mengenai demonstrasi mahasiswa di ibu kota dan berbagai kota di seluruh Indonesia yang mulai berani dilaporkan para kru TV swasta nasional.