Wali kota malam itu juga menyatakan akan membuat regulasi sebagai terobosan untuk memenuhi hak anak dan demi kepentingan terbaik anak. HB Amiruddin Maula, saya yakin malam itu hadir berkat jejaring LBH.
Wali kota dilobi melalui Andi Rudiyanto Asapa, oleh Mappinawang dan Christina Joseph, yang sama-sama bernasab advokat. Selain mereka, malam itu ikut dalam diskusi, yakni Purwanta Iskandar (Kepala Perwakilan UNICEF Sulsel) dan AJ Sudarto (Kepala PLAN International PU Makassar.
Fadiah Machmud dan saya, serta M Ghufran H Kordi K dari Yapta-U juga hadir. Saya dan Ghufran merupakan orang yang paling sering menulis isu akta kelahiran di media cetak, kala itu.
Pertemuan ini ikut mempercepat terbitnyan Keputusan Wali Kota Makassar Nomor: 690/Kep/474.1/2002 tentang Pembebasan Biaya Penerbitan Akta Kelahiran, Pengesahan dan Pengakuan Anak di Bawah Pengampuan/Perwalian Negera. SK yang dinilai sebagai kado di HAN 2002 itu, menempatkan Makassar dan Sulsel sebagai pioner dalam advokasi akta kelahiran di Indonesia.
Mengapa? Sebab saat itu pengurusan akta kelahiran masih jadi target PAD (Pendapatan Asli Daerah). Regulasinya juga, kala itu, masih merupakan peninggalan kolonial yang sangat diskriminatif. Ketentuannya merujuk pada Staatsblad Tahun 1920 Nomor 751, Staatsblad Tahun 1927 Nomor 564, Staatsblad Tahun 1933 Nomor 74, dan Staatsblad Tahun 1936 Nomor 607.
Ketika Mappinawang menjadi komisioner di KPU Sulawesi Selatan, beliau merupakan bagian dari jejaring LPA Sulsel. Beliau banyak membuka ruang bagi kami selama mengadvokasi isu anak dalam kampanye.
Beliau tercatat sebagai Ketua KPU Sulsel, periode 2004-2009. Kak Mappi menggantikan Aidir Amin Daud, jurnalis senior yang juga sahabatnya.
Kami di LPA, kerap bersuara keras, mendesak partai-partai agar anak-anak tidak diajak dalam kampanye. Apalagi, saat itu masih ada konvoi, dan bentuk pengerahan massa lainnya, terutama dalam rapat akbar. LPA Sulsel menilai, pelibatan anak-anak seperti itu merupakan eksploitasi anak dalam politik. (*)