Di mata Wandi, walau Iwan Tompo semasa hidupnya terkesan tegas dan keras, tapi pribadinya sangat bersahaja dan bersahabat. Beliau juga romantis, menyayangi keluarga dan sangat menjunjung apa yang dinamakan siri’ na pacce.
File tulisan Wandi itu lalu diberikan ke saya. Panjangnya 11 halaman. Naskah itu menjadi modal bagi saya untuk mengelaborasinya. Setelah tersusun jadi buku, berkembang ketebalannya, hingga lebih 250 halaman. Cover dan desain buku ini dikerjakan oleh Maysir Yulanwar. Buku rampung pada Oktober 2016.
Sempat naskah buku ini tak jelas penerbitannya. Saya lalu menjumpai Syahruddin Umar, di Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (DPK) Provinsi Sulawesi Selatan. Saya membawa dummy buku Iwan Tompo, Maestro Lagu Makassar.
Mungkin ini dummy yang keempat. Sebab, saya sudah beberapa kali mencetak dummy buku ini, lalu menghadiahkannya kepada orang yang saya temui, saking senangnya bisa menulis tentang Iwan Tompo.
Lewat Syahruddin Umar, yang merupakan saudara Prof Dr KH Nasaruddin Umar (Menteri Agama RI) ini, buku tersebut akhirnya disetujui untuk diterbitkan, tahun 2017. Penerbitnya Pustaka Sawerigading, milik Idwar Anwar, atas kerja sama dengan DPK Provinsi Sulawesi Selatan.
Pada tanggal 24 Desember 2017, buku Iwan Tompo, Maestro Lagu Makassar diluncurkan di Baruga Anging Mammiri, Rumah Jabatan Walikota Makassar.
Dari Toraja, setelah mengikuti kegiatan evaluasi program RRI Makassar, saya langsung ke lokasi acara. Terlebih dahulu, saya titip tas di Warkop Turatea, yang berada di pojok Jalan Haji Bau, lalu berjalan kaki ke baruga di Jalan HIA Saleh Daeng Tompo.
Peluncuran dan diskusi buku dihadiri dua anak Iwan Tompo, yakni Iswan dan Isda. Hadir pula antara lain, Willy Ferial, yang akrab disapa Opa, Udhin Leaders, H. Abd Nasir Daeng Ngerang, selaku Ketua PAMMI (Persatuan Artis Musik Melayu Dangdut Indonesia) Sulawesi Selatan, dan tentu saja Wandi Daeng Kulle. PAMMI ini pernah dipimpin oleh Iwan Tompo.
Di acara itu, saya membaca puisi, yang khusus saya ciptakan untuk almarhum.
***
Kabar wafatnya Iwan Tompo saya terima dalam perjalanan menuju Jakarta. Pagi itu, saya tengah berada dalam taksi Blue Bird, tak lama setelah mendarat di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Cengkareng, Banten.
Begitu membaca broadcast di BlackBerry, tak terasa mata saya basah. Saya menangis. Kesedihan tak bisa saya tahan. Teringat ketika membesuk penyanyi kondang itu di Rumah Sakit Dadi, Makassar.
Nama besar Iwan Tompo, sudah saya dengar lama, sejak pertengahan tahun 80-an, di Ambon. Kakak saya, Rusly Tompo, kebetulan punya koleksi kaset lagu-lagu Makassar. Dari situ, saya mengenal beberapa lagunya.