Kepo (3-Habis): Nostalgia Maba Pak RT

“Anda semua, angkasawan RRI adalah sosok-sosok yang tidak dapat ditinggalkan dalam meniyiarkan informasi di republik yang terdiri atas belasan ribu pulau ini,” kata saya.

Mengapa, kata saya, orang dapat mendengar radio di mana pun. Di darat, di gunung, dan di laut, dan di mana saja, sepanjang pesawat radionya bisa menangkap siaran, tetap akan dapat mengikuti siaran radio tanpa harus memerlukan peralatan tambahan seperti yang dituntut pada TV.

“Nelayan bisa mendengar radio sambil menunggu pancingnya disambar ikan. Pengemudi mobil dapat terhibur oleh musik dari berita-berita actual radio di tengah kemaceten arus lalu lintas kota. Jadi, tidak perlu galau,” kata saya waktu itu.

Mendengar pandangan yang sama sekali tidak berlandaskan teori itu, Prof. Muis pun membenarkan statemen saya.
“Ya benar juga yang dikatakan Pak Dahlan,” katanya pendek.

Namun, yang paling berkesan dalam interaksi dengan RRI Makassar adalah ketika saya membawa mahasiswa KKN Unhas ke Pulau Miangas Sulawesi Utara, beranda terdepan Indonesia yang hanya 48 mil di selatan Filipina (dari Manado, 324 mil — sekitar 521 km). Dalam pelayaran Km Meliku Nusa, kapal perintis yang hanya 500 ton, menuju Tahuna, Ibu Kota Kabupaten Sangir Talaud, tepat di samping Gunung Karangetan, saya melakukan siaran langsung dengan RRI Makassar. Saya memberi kesempatan kepada para mahasiswa untuk memberikan kesan-kesannya tentang perjalanan laut yang tidak mudah ini menuju pulau terdepan tanah air.

BACA JUGA:  Tujuh Tahun Gempa, Tsunami & Likuefaksi Palu (5-Habis): Berdongeng Menghibur Anak-Anak

Dua hari setelah tiba di Pulau Miangas, dengan telepon Nokia E90, saya mengontak teman-teman di RRI Makassar bahwa saya sudah tiba di Pulau Miangas. Pada kesempatan itu rombongan mahasiswa sedang mengunjungi Gunung Keramat, tempat beberapa buah meriam Portugis tersimpan. Dalam rombongan ada Tetua Adat Miangas, Komandan Pasukan Pengamanan Perbatasan (Pamtas) Lettu Inf. Arief, dan tentu saja, saya dan rekan Ir. M.Rusl, MP, sebagai dosen pembimbing. Selama setengah jam laporan langsung ini disiarkan membuat ponsel saya nyaris kehabisan ‘tenaga’. Namun, tetap ‘enjoy’. Kapan lagi dapat melaporkan langsung dari ujung negeri.

Jadi, begitulah nostalgia rekan Rusdin Tompo, mengingatkan kembali kepada saya begitu banyak aktivitas yang dilakukan pada masa lalu. Ini terjadi karena saya banyak terlibat dalam berbagai interaksi dengan tidak sedikit orang. Ini jdiuntungkan oleh posisi saya sebagai seorang jurnalis yang mengharuskan banyak berhubungan sejumlah orang.

Tidak pernah ada yang membayangkan bahwa seorang yang mengakui pertama kali saya wawancarai itu akan “menjadi orang” di bidang yang menjadi minatnya. Dari rekam digitalnya, pada tahun 2017, RT diabadikan di dalam buku “Apa dan Siapa Penyair Indonesia” oleh Yayasan Hari Puisi. Itu tidak lepas dari aktivitas kepuisiannya yang cukup sarat.