Kepo (3-Habis): Nostalgia Maba Pak RT

“Demi Allah, karena disebut hari dan jamnya. Radio dihidupkan, saya ingat tanggalnya, hari dan jam sekian. Kita menunggu malam hari saat jam siaran tersebut akan disiarkan. Siaran itu didengar di tetanggaku, termasuk adikku yang sudah meninggal. Eh..namaku yang disebut, luar biasa. Jadi, begitu disebut Pak Dahlan Abubakar, saya jadi ingat orang pertama yang mewawancarai saya,” urai Rusdin Tompo dengan penuh semangat dan mengingatkan saya kembali ke sekitar 40 tahun silam itu.

Kedekatan saya dengan RRI Makassar sudah berlangsung secara “in absentia”, saat saya selalu mengikuti siaran ini ketika masih murid sekolah dasar di Kanca, desa kelahiran. Melalui radio Ralin produksi Bandung yang dicicil ayah yang kebetulan Kepala Sekolah Dasar Negeri (SDN) Parado, hampir semua acara RRI Makassar sepanjang malam tidak ada yang lepas dari pantauan saya. Apalagi, di desa di kaki gunung bila malam hari sudah sepi. Siaran radio di rumah saya menjadi, suara lain yang mendampingi irama suara alam dari binatang-binatang malam. Jangkrik misalnya, selain anjing yang melolong panjang – yang konon sedang melihat bayangan setan — dan selalu membuat bulu kuduk saya tegak.

BACA JUGA:  MENGAWAL PESAN PRESIDEN: MEMBENAHI BUMN, TAK MEMBURU TANTIEM, DAN FILOSOFI POWER OF GIVING

Saya berhenti mendengar siaran itu, di tengah suhu dingin pegunungan yang mengapit desa, bertepatan dengan terdengarnya musik pamit RRI. Saat mendengar musik itu ruang imajinasi saya melankolis. Membayangkan seperti apa Kota Makassar, tempat siaran radio idola saya ini dipancarkan. Saya tidak pernah bermimpi bahwa suatu saat nanti (1971) akan “terdampar” di kota yang kerap disebut Anging Mammiri ini dan memutuskan menetap sebagai salah seorang warganya.

Kisah Rusdin Tompo ini benar-benar “membangunkan” ingatan saya yang nyaris hilang.

Hingga saat ini, saya tetap menjadi “bagian keluarga RRI Makassar”. Selain menjadi narasumber untuk bidang-bidang olahraga, pers dan media, serta pendidikan, saya selalu menyempatkan “live report” (laporan langsung) kegiatan yang saya ikuti. Ke mana pun saya pergi, saya akan mengirim pesan ke RRI Makassar bahwa sedang mengikuti suatu acara dan ingin melaporkannya. Dalam beberapa menit ke depan, teman-teman di RRI Makassar langsung mengontak melalui jaringan telepon ke telepon genggam saya. Sehingga, dapat dipastikan, RRI Makassar menjadi media pertama yang menyiarkan informasi tersebut. Kalau bukan satu-satunya.

BACA JUGA:  Hidup Punya Cara Sendiri Membuat Kita Kuat

Apa yang saya lakukan ini sebenarnya merupakan satu ungkapan yang saya sampaikan ketika berlangsung satu diskusi panel di RRI Makassar awal tahun 1990-an. Ketika itu, yang bertindak sebagai pembicara, selain saya, adalah Prof.Dr.A.Muis, S.H. (alm.), salah seorang pakar hukum komunikasi dan kolomnis tetap Haria Kompas. Pada kesempatan itu, saya menyemangati teman-teman angkasawan RRI Makassar khususnya, tidak perlu gamang dan galau dengan kemunculan banyak stasion TV swasta yang menjamur.