NusantaraInsight, Makassar — Catatan kali ini tidak bermaksud ‘mengajari’ adik-adik wartawan melakukan perbuatan yang kurang ‘layak’ dalam mengumpulkan informasi, tetapi hanya ingin mengungkapkan bagaimana seorang wartawan menyiasati keadaan untuk memperoleh informasi penting tentang satu peristiwa besar.
Masih tentang autobiografi Panda Nababan, ada dua pengalaman yang memperlihatkan kenakalan wartawan yang satu ini dalam memperoleh informasi yang sulit didapatkan pada tahun 1981.
Tahun itu, merupakan masa berduka bagi masyarakat Indonesia. Pasalnya, KM Tampomas II terbakar lalu tenggelam di Kepulauan Masalembo, 25 Januari 1981. Lebih seribuan penumpang tewas tenggelam.
Kedua, ketika terjadi pembajakan terhadap pesawat DC-9 Woyla 28 Maret 1981 yang mengakibatkan dua putra terbaik Sulawesi Selatan. Yakni, Lettu Achmad Kirang, seorang perwira dari kesatuan elite Kopassus dan Capt. Herman Rante, pilot pesawat itu, gugur dalam operasi penyelamatan sandera yang dilakukan Pasukan Antiteroris Indonesia pimpinan Letkol Sintong Pandjaitan (Komandan Grup-3 Kopassus di Kariango Maros) di Bandara Don Muang, Bangkok.
Kemarahan Fanny Habibie
Berita terbakarnya KM Tampomas II pertama dikirim oleh markonis KM Sangihe yang berlayar dan memuat barang dari Ujungpandang ke Surabaya saat melihat asap tebal di tengah laut.
Mualim 1 KM Sangihe J.Bilalu melalui teropong melihat asap mengepul di arah barat. Mualim 1 pun memanggil Kapten Sangihe Agus K.Sumirat.
“Hebat, Pertamina dapat sumur minyak baru lagi,” seru Bilalu kepada Sumirat.
Satu jam kemudian, Bilalu kembali mengeker. Tampak asap tebal kian mendekat. Melalui teropong di area yang berasap terpampang pada lambung, KM Tampomas II. Markonis kapal segera menghidupkan radio kapal, Menghubungi radio Jakarta, memberi tahukan Tampomas II terbakar. Pukul 08.15, KM Sangihe mengirim sinyal “save our soul” (SOS) — selamatkan jiwa kami — dengan harapan seluruh kapal dan stasiun radio pantai menangkap pesan darurat itu.
Kiriman sinyal SOS KM Sangihe ini menjadi sumber awal beredarnya informasi terbakarnya kapal di posisi 150 km di arah timur Pulau Masalembo.
Panda Nababan sedang nongkrong di kantor redaksi “Sinar Harapan” (SH) ketika berita itu tersebar. Dia mengontak J.E.Habibie — adik B.J.Habibie — yang akrab disapa Fanny.
“Fanny, apa yang terjadi,” satu pertanyaan pendek meluncur dari Panda melalui telepon.
“Hei, Pan, sory, gue lagi sibuk. Lu datang saja ke kantor nanti sore,” jawab Fanny yang ketika itu menjabat Dirjen Perhubungan Laut.