Dalam perjalanan kereta tahun 2013 dari Kyoto ke Kobe ini, seorang perempuan tua yang kira-kira berusia antara 60-70 tahun, duduk satu deret dengan seorang teman dosen dari Unhas, rombongan saya. Jika teman rombongan saya itu memilih tidur, perempuan lansia Jepang itu malah asyik membaca.
Seperti yang Anda saksikan dalam foto ini, saya juga sempat mengabdikan seorang perempuan muda yang berdiri di lorong kereta. Dia tidak memperoleh tempat duduk. Dia berdiri, tetapi cukup produktif. Dalam goyangan kereta perdesaan yang bunyi relnya gemuruh dilindas roda-roda besi kereta, dia asyik membaca. Dia cuek dengan keadaan di sekelilingnya. Waktu menunggu tiba di tujuan dengan hanya berdiri, dia manfaatkan dengan membaca.
Kegiatan membaca buku sambil berdiri ini di dalam masyarakat Jepang dikenal dengan “Tachiyomi”. Tidak mengherankan, berdasarkan data yang dirilis “World’s Most Literate Nations (WMLN) 2016, sesuai data AI minat baca masyarakat Jepang menempati peringkat ke-8. Peringkat pertama adalah masyarakat Finlandia yang memiliki 738 perpustakaan dan 140 perpustakaan keliling. Negara ini juga memberikan akses mudah kepada masyarakat untuk mendapatkan buku.
Bagaimana dengan Indonesia? Berdasarkan riset yang dilakukan Central Connecticut State University pada tahun 2016, kegemaran membaca masyarakat Indonesia berada pada urutan ke-60 dari 61 negara. Namun tingkat kegemaran membaca masyarakat Indonesia pada tahun 2023 tercatat sebesar 66,77. Sesuai pemetaan yang dilakukan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) pada tahun 2021 tingkat kegemaran membaca masyarakat Indonesia mencapai angka 59,52 dari skala 0-100.
Mungkin meningkatnya kegemaran membaca itu karena secara kasat mata, di mana-mana kita memang menyaksikan orang Indonesia, tidak kenal tua-muda, laki-perempuan, bersemangat membaca. Meskipun mungkin yang mereka baca itu adalah informasi atau pesan di gawai (gadget)-nya masing-masing. Selamat membaca! (Makassar, 29 Januari 2025).