Institusi ataupun kelembagaan kearsipan di Indonesia telah ada sejak zaman penjajahan Belanda dimana pada tanggal 28 Januari 1892 Pemerintah Hindia Belanda membentuk Landarchief (Kantor Arsip) yang mana tugas pokok dan fungsinya membantu pengelolaan administras dan sumber informasi ilmu pengetahua. Setelah Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 kelembagaan kearsipan ini tetap ada dengan nomenkelatur organisasi bernama Arsip Negeri, nanti di tahun 1959 Arsip Negeri pun berganti nama menjadi Arsip Nasional hingga saat ini yang secara garis besar memiliki tugas melakukan pengelolaan arsip, pengembangan dan pembinaan kearsipan. Pendiri Republik ini yang juga Presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno dalam sebuah kesempatan berpidato pernah melontarkan sebuah perkataan yakni : “JAS MERAH”, akronim yang berasal dari “Jangan sekali kali melupakan SEJARAH”. Perkataan dari Bapak Proklamator ini bermakna semangat yang tegas, lugas, kharismatik yang menunjukkan idealisme dan nasionalisme kebangsaan yang tinggi seolah memberi pesan kepada generasi generasi setelah beliau: “jagalah arsip kalian karena iyalah yang akan menjadi pusat ingatan perjalanan panjang bangsa dan negeri ini mulai awal berdirinya hingga sekarang ini, iyalah arsip yang memberitahukan kepada kalian semangat berkobar para pejuang mengusir penjajah, iyalah arsip yang menyampaikan berita kepada kalian akan kejinya pemberontakan dalam negara yang ingin merubah haluan negara, iyalah arsip yang akan menginformasikan kepada anak negeri bahwa dibalik nasionalisme yang tinggi terdapat karakter karakter korup bangsa ini yang menjadi benalu dari dulu hingga saat ini menghancurkan sendi sendi kebangsaan yang telah direbut dengan pengorbanan darah dan air mata oleh pejuang kusuma bangsa.
KEARSIPAN SULSEL DAN SRIKANDI SULSEL
26 tahun setelah kemerdekaan, kearsipan semakin menunjukkan kekuatannya yakni dengan dibentuk dan disahkannya Undang undang Nomor 7 Tahun 1971 tentang Ketentuan ketentuan pokok kearsipan pada tanggal 18 Mei 1971. Arsip pun mulai mendapatkan jati diri dan marwahnya sebagai tonggak utama didalam mendukung tata kelola administrasi pemerintahan yang pastinya menginginkan bermuara pada arsip sebagai akuntabilitas dan tulang punggung manajemen pemerintahan (arsip dinamis) dan arsip sebagai jati diri dan memori kolektif bangsa. Arsip pun semakin terang benderang terdefenisikan dalam undang undang nomor 7 tahun 1971 ini yaitu : “Naskah-naskah yang dibuat dan diterima oleh Lembaga-lembaga Negara dan Badan-badan Pemerintah dalam bentuk dan corak apapun baik dalam keadaan tunggal maupun berkelompok dalam rangka pelaksanaan kegiatan pemerintah dan kebangsaan”. Disebut naskah-naskah dalam pendefinisiannya dikarenakan saat itu mayoritas arsip yang tercipta adalah yang berbentuk konvensional, sangat mengandalkan kerta sebagai sarana utama penunjang kearsipan. Undang undang inipun memberi legitimasi kepada Arsip Nasional Republik Indonesia dengan singkatan familiar ARNAS saat itu untuk membentuk lembaga kearsipan di daerah yang secara struktur dibawah ARNAS dengan nomenkelatur Arsip Nasional Wilayah dan jika tidak keliru saat itu terbentuk hanya sebanyak 6 hingga 7 Arsip Nasional Wilayah (ANWIL) provinsi di Indonesia, karena tidak terbentuk di semua provinsi, tugas ANWIL pun semakin berat karena obyek tugas dan kerjanya bersifat regional.