Oleh Denny JA
NusantaraInsight, Jakarta — Dalam politik yang terpolarisasi, dan ketidakpastian ekonomi akibat kondisi geo-politik, pemimpinan nasional yang merangkul semua kekuatan bangsa itu sebuah kearifan.
Renungan ini yang terbetik setelah mendalami The News of The Year 2025: Presiden Prabowo memberikan abolisi kepada Tom Lembong, dan amnesti, salah satunya kepada Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto.
-000-
Tom Lembong, ekonom dan teknokrat, mantan Menteri Perdagangan, dikenal luas sebagai figur independen yang kritis namun berintegritas—terutama di kalangan pendukung Anies Baswedan.
Namun tahun 2024 mengguncang reputasinya. Ia divonis 4,5 tahun penjara dalam perkara impor gula.
Banyak yang mengernyit, sebagian mengutuk, tak sedikit pula yang meragukan kebenaran putusan itu.
Proses hukum tetap berjalan. Dan di tengah gejolak itulah, Presiden Prabowo mengusulkan abolisi. Pada 31 Juli 2025, DPR menyetujui.
Abolisi pun berlaku: proses hukum terhadap Tom dihentikan sepenuhnya, bahkan ketika vonisnya masih dalam tahap banding.
Sementara itu, Hasto Kristiyanto—Sekretaris Jenderal PDIP, partai dengan akar panjang dalam sejarah republik—telah divonis 3,5 tahun penjara. Hukuman itu atas kasus suap dan perintangan penyidikan terkait Harun Masiku.
Namun suasana menjelang kemerdekaan menghadirkan napas baru. Dalam semangat 17 Agustus, Presiden Prabowo mengajukan amnesti kolektif untuk 1.116 terpidana, termasuk Hasto. DPR kembali memberi persetujuan.
Secara hukum, keduanya berbeda:
• Abolisi menghapus seluruh proses hukum. Titik.
• Amnesti menghapus hukuman, tetapi tidak membatalkan vonis.
Namun secara moral, keduanya bertemu di titik yang sama: titik kearifan. Titik ketika negara memilih menyembuhkan, bukan melukai kembali.
-000-
Beberapa jam setelah keputusan amnesti dan abolisi diumumkan, muncul pernyataan mengejutkan: Megawati Soekarnoputri memerintahkan seluruh jajaran PDIP mendukung pemerintahan Presiden Prabowo.
Bagi sebagian orang, ini kejutan. Bagi sejarah, ini adalah momen penting.
Dalam waktu nyaris bersamaan, dua kutub politik Indonesia—yang sebelumnya saling bertarung dalam panasnya pemilu—memasuki ruang rekonsiliasi.
Dan sang “ibu bangsa”, yang selama ini memilih diam, kini bicara: menyambut, bukan menolak; merangkul, bukan mencibir.
Seolah bangsa ini, yang selama ini penuh luka dan prasangka, perlahan belajar. Bahwa kekuasaan sejati bukan tentang siapa yang menang, tetapi tentang bagaimana merawat yang pernah dikalahkan.
-000-
Apa sebenarnya makna terdalam dari abolisi dan amnesti?