Jika ditinjau dari perspektif geopolitik, Papua tidak hanya penting karena kekayaan alamnya, tetapi juga karena letak strategisnya dalam peta kawasan Asia-Pasifik. Wilayah ini berbatasan langsung dengan negara-negara Melanesia seperti Papua Nugini dan dekat dengan Australia, yang menjadikan setiap konflik di Papua berpotensi menarik perhatian dan intervensi aktor-aktor regional dan global. Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah negara di Pasifik Selatan seperti Vanuatu, Kepulauan Solomon, dan Tonga telah menunjukkan simpati terhadap gerakan kemerdekaan Papua Barat, bahkan membawa isu ini ke forum internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Melanesian Spearhead Group (MSG). Mereka memandang kekerasan yang terus terjadi di Papua sebagai bentuk kolonialisme modern, dan menyerukan hak menentukan nasib sendiri bagi rakyat Papua.
Dari kacamata hukum internasional dan hak asasi manusia, pembunuhan terhadap warga sipil dan pembakaran fasilitas publik di zona konflik seperti Papua adalah pelanggaran serius yang seharusnya mendapat perhatian dunia. Namun demikian, akses media dan organisasi internasional ke Papua sangat dibatasi, sehingga informasi seringkali diperoleh secara sepihak atau tidak akurat. Ketertutupan ini menimbulkan kecurigaan di kalangan komunitas internasional mengenai adanya upaya sistematis untuk menutupi kekerasan negara terhadap masyarakat Papua. Indonesia sebagai negara demokrasi yang aktif di berbagai forum internasional seperti G20, ASEAN, dan Dewan HAM PBB, menghadapi tantangan reputasi yang signifikan jika gagal menunjukkan transparansi dan akuntabilitas dalam menangani insiden-insiden seperti ini.
Selain reputasi, ada dimensi keamanan yang tidak boleh diabaikan. Dalam kerangka geopolitik kontemporer, wilayah dengan konflik internal yang berkepanjangan sangat rawan menjadi titik masuk bagi kepentingan-kepentingan eksternal, termasuk dalam bentuk proxy war atau politik intervensi berbasis HAM. Papua, dengan kombinasi antara kekayaan mineral, ketegangan etnopolitik, dan posisi geografis strategis, sangat rentan terhadap skenario semacam itu. Jika Indonesia tidak mampu menangani Papua secara manusiawi dan adil, maka bukan tidak mungkin aktor-aktor internasional mulai mendorong agenda yang lebih radikal, termasuk tekanan untuk intervensi kemanusiaan atau dukungan terbuka terhadap referendum kemerdekaan.
Lebih jauh lagi, peristiwa ini harus dilihat dalam kerangka sejarah panjang marginalisasi terhadap masyarakat Papua. Sejak integrasi Papua ke Indonesia melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969 yang banyak diperdebatkan legitimasi dan keabsahannya, masyarakat Papua mengalami berbagai bentuk diskriminasi struktural – mulai dari politik militerisasi, pengabaian budaya lokal, hingga pembangunan yang tidak partisipatif. Tragedi kematian penambang dan pembakaran sekolah ini hanya menambah luka lama yang belum pernah benar-benar disembuhkan. Banyak warga Papua menganggap bahwa pendekatan Jakarta terhadap Papua bukanlah pendekatan kemanusiaan atau dialog, melainkan dominasi dan eksploitasi. Oleh karena itu, munculnya gerakan perlawanan – baik yang bersifat sipil maupun bersenjata – tidak bisa semata-mata dilihat sebagai tindakan kriminal, tetapi sebagai respons terhadap ketidakadilan sistemik yang berkepanjangan.