Helm, Solidaritas Sosial, dan Demonstrasi

Rusdin Tompo menulis tentang helm
Rusdin Tompo

Dampak dari pemberlakuan wajib helem, mulai ada kasus-kasus orang kehilangan helem di parkiran. Di kampus misalnya, kadang ada teman yang mengajak ke suatu tempat atau akan mengantar pulang, tapi dia tidak membawa helem cadangan –selain untuk dirinya– dengan enteng akan mengatakan, ambil saja salah satunya hehehe. Kenakalan seperti ini, tentu saja akan membuat si empunya helem kebingungan, begitu tak menemukan helemnya tercantol di sepeda motornya.

Pemberlakuan wajib helem dari waktu ke waktu kian membaik. Sekarang, helem yang digunakan pengendara sepeda motor harus merupakan helem ber-SNI. Harga helem juga sangat bervariasi, mulai dari puluhan ribu hingga jutaan rupiah. Untuk merawat helem agar tetap terlihat bersih dan wangi, bermunculan jasa pencucian helem. Juga ada jasa penitipan helem di pusat-pusat perbelanjaan, sehingga bisa menghindarkan pemilik kendaraan dari kasus pencurian helem.

Helem yang standar bagi pengendara dewasa, sayangnya tidak diberlakukan ketat bagi anak-anak yang dibonceng. Anak-anak hanya dikenakan helem yang terlihat lucu dengan gambar dan warna-warni menarik. Lebih parah lagi, kebanyakan anak-anak dibonceng oleh orangtua mereka tanpa mengenakan helem sama sekali. Satu sepeda motor, ditumpangi bisa oleh satu keluarga: anak di depan, ayah, anak lagi di tengah, lalu ibu di belakang. Mirisnya, hanya ayah dan ibunya yang mengenakan helem, sementara dua anaknya tidak. Sungguh suatu dilema, bagi keluarga yang terbatas pilihan moda transportasinya. Itulah mengapa, pentingnya setiap kota mempunyai transportasi yang ramah keluarga. (*)

BACA JUGA:  Mutiara Anak