Oleh : Rahman Rumaday (Founder K-apel dan Kampus Lorong K-apel)
NusantaraInsight, Makassar — Sabtu, 11 Oktober 2025. Hari itu terasa panjang. Entah karena waktu yang berjalan lambat, atau karena pikiran saya yang terlalu sibuk berlari. Sejak pukul delapan pagi saya sudah duduk di sebuah kafe kecil daerah Minasa Upa. Hanya saya, laptop, segelas thai tea, dan sejumlah potongan kecil ubi kayu diatas piring, yang setia menjadi teman bicara tanpa suara. Kadang, manusia memang butuh diam, tapi tetap ingin terdengar.
Entah kenapa, ada rasa tenang setiap kali saya duduk sendiri di tempat seperti ini. Seolah waktu memberi izin untuk berpikir dan diam.
Kadang kita memang butuh sendiri, bukan karena ingin menjauh, tapi untuk menata diri yang sering berantakan di tengah hiruk pikuk urusan manusia.
Di depan layar itu, jemariku menari bersama imajinasi yang kadang liar, kadang lembut seperti desir angin mamiri kota Daeng.
Waktu Dzuhur datang menegur, saya berhenti sejenak menghadap arah lain, bukan ke layar, tapi ke langit. Di sana, dalam sujud yang hening, saya menitipkan lelah pada sajadah dan membiarkan waktu berjalan tanpa tergesa.
Saya teringat dengan sabda sang utusan langit Rasulullah Muhammad SAW, bahwa : *_”istirahatkanlah hatimu sesaat demi sesaat, karena hati yang letih akan buta dari kebenaran.”_* ~ Hadits
Saya tersenyum kecil. Barangkali itu sebabnya *_kita diberi waktu untuk shalat, agar hati tak benar-benar letih._*
Kadang saya merasa, kesunyian adalah guru terbaik. Seperti kata Jalaluddin Rumi, *_”Diam adalah bahasa Tuhan, segala yang lain hanyalah terjemahan yang buruk.”_*
Maka saya diam. Menyimak sunyi. Mencoba mendengar suara hati saya sendiri yang selama ini sering kalah oleh kebisingan kota yang tak jelas apa maunya.
Usai shalat, saya kembali duduk. Layar laptop menyala, seperti memanggil-manggil. Saya untuk bercakap lagi, kali ini lebih tenang. Kadang saya berpikir, laptop ini seperti cermin ia hanya memantulkan apa yang ada di dalam kepala saya, baik atau buruk.
Hingga sore menjelang, waktu Ashar tiba. jemari saya berhenti. *_”Rehatlah, Maman,”_* bisik hati saya. Lalu saya beranjak ke musholla mungil di samping kafe.
Tempatnya sederhana, hanya beberapa meter persegi, tapi cukup membuat hati berlabuh. Dalam sujud itu saya teringat sabda Nabi, *_”Ketahuilah, dalam jasad ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baiklah seluruh jasad itu.”_* Mungkin, sore ini saya sedang berusaha memperbaiki segumpal itu pelan-pelan, tanpa suara.
Hati saya seperti diingatkan lagi bahwa setiap ibadah adalah jeda yang menyelamatkan. Kata Ali bin Abi Thalib, *_”Jika hati lelah, istirahatkanlah dengan ibadah, bukan dengan lalai.”_*