Oleh Aslam Katutu
NusantaraInsight, Makassar — Zazkia Mecca, Hamida, Ratna Galih dan 7 orang Indonesia berangkat ke Mesir untuk mengikuti aksi Global March To Gaza bersama ribuan orang dari berbagai negara. Inisiatif ini merupakan aksi damai lintas negara yang dimulai dari Kairo, lalu bus menuju Al-Arish, dan dilanjutkan dengan berjalan sejauh ±48 km ke perbatasan Rafah, Sinai–Gaza. Bertujuan menekan Israel membuka blokade Gaza dan memungkinkan masuknya bantuan kemanusiaan.
Diperkirakan melibatkan ribuan peserta dari lebih 50–80 negara. Peserta akan berkumpul dari 12 Juni dan berkemah di Rafah sampai sekitar 19–20 Juni 2025.
Sangat sayang, karena saya merasa terlambat mendapat informasi ini. Setelah saya menulis, “ Palestina, Aku datang” semangat kuat tekad saya untuk berbuat sesuatu untuk Palestina. Setidaknya saya mencari jalan bagaimana bisa mengikuti agenda ini.
Selama ini terkesan kita lebih memilih diam daripada berbuat sesuatu. Ada saatnya sejarah menyeru kita untuk bangkit. Bukan karena kita kuat, bukan karena kita punya kuasa. Tapi karena diam adalah pengkhianatan terhadap nurani dan kemanusiaan. Ketika anak-anak Gaza mengerang di balik puing-puing, ketika ibu-ibu Palestina menangis di antara jenazah yang membeku, dan ketika dunia terus bersuara tanpa gema—maka kita, yang masih memiliki langkah, harus berjalan. Inilah semangat Global March to Gaza. Sebuah long march lintas negara, bukan sekadar gerakan fisik, tetapi gerakan jiwa, gerakan hati, dan gerakan iman.
Gaza hari ini bukan hanya tentang tanah yang terblokade. Ia adalah simbol dari penderitaan yang dilanggengkan, harapan yang terus diluluhlantakkan, dan keberanian yang tidak pernah mati. Dan siapa pun yang masih memiliki nurani, akan merasa bahwa perjuangan rakyat Palestina adalah panggilan sejarah. Maka Global March to Gaza adalah jawaban atas panggilan itu.
Di tengah ketidakadilan yang membungkam suara-suara kecil, long march ini adalah megafon kemanusiaan. Ia bukan sekadar barisan orang yang berjalan, tapi barisan nurani yang menyatu dari segala penjuru dunia. Pria, wanita, tua, muda, Muslim, Kristen, Yahudi, ateis—semuanya berjalan membawa satu pesan: “Gaza tidak sendiri, Kami datang !”
Ketika kaki kita melangkah dari Kairo menuju Rafah, setiap meter yang kita tempuh adalah bentuk protes terhadap penjajahan. Setiap keringat yang menetes adalah bukti bahwa kemerdekaan tidak hanya dituntut oleh yang tertindas, tetapi juga oleh mereka yang bebas namun tidak buta.
Global March to Gaza adalah pelajaran bahwa perjuangan bukan monopoli senjata. Ia adalah bukti bahwa solidaritas global bisa melampaui sekat bahasa, agama, dan politik. Dunia boleh berbeda pendapat tentang ideologi, tapi tidak ada perdebatan tentang air mata seorang anak yang kehilangan keluarganya oleh rudal. Tidak ada tafsir ganda tentang seorang bayi yang mati kelaparan karena blokade. Dan tidak ada keraguan tentang kejahatan yang dilakukan terhadap rakyat Palestina setiap harinya dan tiada akhir.