Demo Anarkis: Menghancurkan Diri Sendiri

Oleh Aslam Katutu

(Turut berduka cita sedalam-dalamnya atas wafatnya saudara-saudara kita dalam aksi demontrasi di akhir Agustus 2025)

NusantaraInsight, Makassar — Demonstrasi, dalam sejarahnya, adalah suara kolektif rakyat yang menuntut perubahan. Ia hadir sebagai ekspresi keresahan, sebagai wujud partisipasi politik yang nyata ketika saluran formal dianggap tertutup atau tidak memadai.

Namun, dalam perjalanan panjang bangsa ini, sering kali kita menyaksikan demonstrasi yang justru tidak lagi mencerminkan aspirasi luhur, melainkan berubah menjadi arena penghancuran diri sendiri.

Fenomena ini bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi hampir di seluruh belahan dunia, di mana suara rakyat yang seharusnya membebaskan justru menjadi bumerang bagi dirinya sendiri.

Namun perlu disadari kalau demontrasi hadir sebagai bentuk kekecewaan rakyat yang aspirasinya tidak terwakilkan lagi oleh wakilnya di Dewan.

Demonstrasi pada mulanya adalah ruang artikulasi. Ketika mahasiswa turun ke jalan pada era 1966 dan 1998, suara mereka mengguncang fondasi kekuasaan yang otoriter.

Sejarah mencatat bahwa keberanian ribuan mahasiswa itu membawa perubahan besar, bahkan sampai mengganti rezim.

BACA JUGA:  M.Basir, Perempuan Ambon-Belanda Gagalkan Dieksekusi

Namun, jika kita perhatikan demonstrasi masa kini, banyak yang tidak lagi fokus pada tujuan luhur, melainkan cenderung diwarnai kekerasan, anarkisme, bahkan menjadi lahan kepentingan kelompok tertentu.

Dari sinilah muncul ironi: demonstrasi yang dimaksudkan untuk memperjuangkan hak, justru menghancurkan diri sendiri—baik secara moral, sosial, maupun politik.

Fenomena “menghancurkan diri sendiri” bisa kita lihat dari berbagai sisi. Pertama, dari sisi moralitas.

Demonstrasi yang seharusnya menyuarakan kebenaran, sering kali berakhir dengan perilaku destruktif: merusak fasilitas umum, membakar ban, melempari aparat, bahkan memukul sesama demonstran.

Dalam keadaan semacam itu, nilai luhur perjuangan hilang. Masyarakat yang seharusnya bersimpati, justru menjadi antipati. Demonstrasi yang mestinya menumbuhkan dukungan publik malah menimbulkan kebencian. Akibatnya, pesan utama dari demonstrasi itu tenggelam oleh citra buruk yang mereka buat sendiri.

Kedua, dari sisi sosial. Demonstrasi yang tidak terkendali sering kali melumpuhkan kehidupan orang banyak. Jalan raya ditutup, transportasi macet, aktivitas ekonomi terhambat, hingga menimbulkan kerugian besar.

Ada pedagang kecil yang terpaksa tidak bisa berjualan, ada sopir angkutan yang kehilangan setoran, bahkan ada pasien yang terlambat sampai rumah sakit. Akibatnya, tuntutan yang sebenarnya sahih menjadi tercoreng, karena publik merasa dirugikan.

br