Daeng Lawa Asal Takalar, Pernah Berkongsi Buka Warung Coto di Surabaya (Bagian 2)

Oleh: Rusdin Tompo (Koordinator Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA Provinsi Sulawesi Selatan)

Kuah Coto Jadi Pembeda

NusantaraInsight, Takalar — Rasa Coto Makassar itu yang menjadi pembeda adalah kuahnya. Menurutnya, yang membuat Coto Makassar itu enak karena ada paduan telur, santan, dan kacang. Kalau kuah coto terlihat agak kecokelatan, itu karena kacangnya digoreng agak kering. Kacang tersebut digoreng dengan kulitnya, lalu dihaluskan (istilahnya dalam bahasa Makassar, ni pabereki) juga dengan kulit-kulitnya.

Ada juga yang membuat kuah Coto Makassar yang dicampur dengan bekas air cucian beras. Bila menggunakan bekas air cucian beras, maka kuah coto akan terasa lebih janna. Ketika diminta me-review Coto Makassar yang tadi dimakan, dia mengatakan, penjualnya tidak menggunakan air beras melainkan santan dan biskuit gabin. Ooo, saya baru tahu bahwa ada juga Coto Makassar yang kuahnya dicampur biskuit gabin.

“Selama saya ikut di warung coto, tidak ada yang sama bumbunya, meski mereka semua berasal dari desa yang sama, Paddinging. Tergantung bumbunya dan cara mengolahnya. Ada yang bumbunya basah saat diolah, ada yang kering,” papar Daeng Lawa, menjawab pertanyaan saya, mengapa rasa Coto Makassar bisa berbeda-beda.

BACA JUGA:  Islam, Peran Pemuka Agama dan Kerusakan Lingkungan, dibahas oleh Ma’REFAT INSTITUTE

Selama bekerja di warung Coto Makassar, dia menyukai ramuan bumbu coto yang di Sengkang, milik Daeng Toto. Dia menganggap ramuan bumbu di Sengkang itu bagus, tidak terlalu rumit.

Setelah dari Sengkang, dia kembali ke Paddinging. Dia sempat bekerja di warung Coto Makassar “Lalang Barua” milik Haji Sutte, yang berada di perempatan jalan Pari’risi, Kota Takalar. Dia lama bekerja di situ sebagai tukang iris daging, mungkin lebih setahun. Usianya saat itu sudah lebih 25 tahun.

Saat masih bekerja di warung Coto Makassar “Lalang Barua” ini, dia menikah. Dia bertemu istrinya, Rara Nurdia Nurjanna Daeng Tarring, di lokasi wisata, tepatnya  di tanggul Lamangkia, tak jauh dari pemandian Topejawa. Itu tempat rekreasi yang murah meriah. Anaknya juga lahir saat dia masih bekerja di warung coto milik Haji Sutte tersebut.

Kebaikan Haji Sutte tidak bisa dia lupakan. Saat istrinya masuk rumah sakit untuk melahirkan, beliau yang memberi Daeng Lawa pinjaman uang sebesar Rp10 juta sebagai biaya persalinan. Dia butuh uang banyak karena istrinya melahirkan secara cesar. Begitu dia menelepon menyampaikan bahwa dia butuh uang, beliau langsung mengulurkan tangan memberi bantuan.

BACA JUGA:  SKEMA: RAGNAR & NATURA TUNGGAL IKA

“Saya telepon, mau minta tolong dulu ini, bos. Beliau langsung kasi. Itu yang tidak bisa saya lupakan kebaikan Haji Sutte dan istrinya,” katanya dengan mata berbinar.