Begitulah kiranya toko Daeng Aji pada saat kematian sang istri. Bahkan saking terbukanya sang pemilik toko, sehingga banyak anak muda menjadikan toko tersebut sebagai tempat nongkrong.
Daeng Aji merespon kedatangan pemuda desa dengan menghadirkan meja karambol dan papan catur. Antusias pemuda begitu senang dengan permainan karambol dan catur.
Tak terelakkan bila Daeng Aji bermula dengan toko kecil dan merangkul pemuda, anak-anak kecil dan masyarakat agar transaksi kehidupan terus berputar seperti permainan karambol.
Banyak anak-anak desa menghabiskan waktunya di toko Daeng Aji, meski mereka datang tidak untuk berbelanja. Tapi, kedatangan anak-anak desa adalah melampiaskan naluri bermain.
Mungkin ini adalah salah satu cara untuk mengedarkan brosur melalui lisan terhadap kehadiran tokonya di kampung.
Desa Bontonyeleng memiliki banyak toko, tetapi tidak seperti toko Daeng Aji. Toko tersebut super lengkap dari toko yang lain, sehingga banyak masyarakat berbelanja di sana. Bahkan toko tersebut juga memiliki karyawan.
Penulis masih ingat salah satu karyawan pertama adalah Bucek (sapaan orang desa). Pemuda desa yang putus sekolah dengan alasan kesenjangan ekonomi.
Dengan begitu, Bucek memilih bekerja pada toko Daeng Aji agar bisa bertahan hidup di era kapitalisme. Seingat penulis, cukup lama toko Daeng Aji menggunakan tenaga orang lain dalam proses berlangsungnya transaksi barang. Saksi hidup perjalanan toko tersebut yang bisa dijumpai oleh penulis adalah Bucek.
Memasuki 2022 Daeng Aji meninggal dunia dan disitulah toko yang dirintisnya mulai sepi pembeli. Entah karena suasana yang mulai berbeda atau ada hal lain.
Tapi, semenjak kematian sang istri dan sang suami toko Kurnia mulai pasang surut. Toko yang kedua mulai pemasangan spanduk dikontrakkan dan bahkan di jual dengan harga pantastis. Pembagian warisan membuat toko tersebut kembali ke realitas awalnya: kecil.
Mengapa? Karena sang pemilik toko tak memiliki keturunan (anak) yang dapat mewarisi atau melanjutkan usahanya, sehingga harta warisan tersebut dibagi oleh para saudara si laki-laki dan perempuan.
Begitulah kiranya perjalanan toko berbalut kesedihan. Mungkin desa-ku tak akan memiliki rekam jejak pada toko-toko kecil ketika tidak ada toko Daeng Aji.
Hadirnya mengisahkan perjalanan sepasang yang bertumbuh dengan usaha dan kemandirian. Masyarakat banyak belajar dari beliau dan hingga kini di 2024 toko-toko kecil di desa-ku mulai mirip jamur.
Tumbuh secara liar dan bisa dijumpai 24 jam seperti toko H. Sappe. Toko tersebut adalah penyelemat bagi para pemuda yang sering begadang sebelum hari menyingsing fajar. Bisa dikatakan toko di Bontonyeleng saat ini tidak lagi mengenal jam tutup. Hampir menyerupai tumbuh-kembangnya toko di sekitaran kota Bulukumba. Begitu.