Bontonyeleng 24 Jam

Oleh: Musakkir Basri

Sopir Rumah Buku

Lima belas tahun berlalu dengan ingatan masa kecil di Sekolah Dasar (SD). Hampir kebiasaan para siswa(i) melewati masa seru dengan hadirnya sebuah toko di sebelah lapangan Desa Bontonyeleng.

Menggempar kesenangan para murid SDN 206 Bontonyeleng untuk berbelanja aneka makanan ringan seperti krupuk Jaipong.

Bahkan tak hanya para siswa(i) SD yang terpaut dengan hadirnya toko tersebut. Masyarakat pun ikut andil dengan kesenangan yang tak mendua.

Kampung sebelah juga merasakan dampak kehadiran toko yang di bawah oleh sepasang suami istri yang berkelahiran Ujungloe.

Mereka adalah suami istri yang merantau ke Desa Bontonyeleng dengan kebaruan toko klontong. Hadirnya banyak memberi kemudahan untuk transaksi beli barang. Mulai dari makanan ringan hingga prabotan rumah tangga.

Desa Bontonyeleng merupakan desa yang berada di Kecamatan Gantarang Kabupaten Bulukumba. Desa yang memiliki ragam potensi sumber daya alam (SDA). Mulai dari potensi pertanian dan perkebunan desa yang kini bisa dilihat dengan hamparan sawah. Kegemaran pemuda desa tertuang di lapangan Gella Palaloi. Di mana toko itu berada sebagai simbol kemajuan desa pada saat itu.

BACA JUGA:  Regulasi Hubungan NU - PKB

Tak segan-segan sang pemilik toko ikut melebur persama pemuda desa untuk bermain di lapangan. Tentunya permainan ini adalah bola kaki, volli, dan takraw. Tapi, hobi pemuda desa mayoritas ke bola kaki. Percaya atau tidak percaya desa ini pernah menjadi role mode sepak bola di Bulukumba pada masanya.

Sekolah-sekolah yang ada di desa ini pun ikut menggunakan lapangan dengan pelajaran olahraga. Terdapat empat sekolah yang ada di desa ini, salah satunya adalah SDN 206 Bontonyeleng.

Sekolah yang berdiri sejak 31 Desember 1977 dan menjadi sekolah kedua setelah SDN 39 Bontonyeleng yang berdiri pada 1 Juli 1967.

Melipir pada sumber daya manusia (SDM) masyarakat desa dengan hadirnya sekolah-sekolah membuat paradigma lebih tinggi dari sebelumnya.

Awalnya masyarakat desa hanya memahami bahwa hidup itu adalah kerja di sawah atau kebun. Tapi, seiring waktu berjalan masyarakat desa mulai menaruh perhatian pada pendidikan. Bahkan pendidikan adalah hal penting untuk mereka sekarang.

Tak segan-segan menjual sawah dan kebun demi memasukkan anak-anaknya ke sekolah hingga pendidikan tinggi. Dengan harap, kelak kehidupan anak-anak mereka tidak seperti apa yang orang tuanya alami: patah pena.
Begitu juga dengan hadirnya toko yang berada di sebelah lapangan desa.

BACA JUGA:  Video Profil Tradisi Pinisi: Dari Edukasi ke Promosi Budaya dan Pariwisata

Terbilang toko tersebut paling lengkap dalam penyediaan barang. Karena saking ramainya pembeli orang-orang kadang antri dan harus menunggu lama.