Iwan Azis mengaku, dia juga sekretaris film layar tancap. Nama organisasinya, PERFIKI, akronim dari Pertunjukan Film Keliling Indonesia. Biasanya, mereka menyewakan atau menyumbangkan kegiatan pemutaran film kepada masyarakat. Misalnya, pada saat perayaan HUT Kemerdekaan RI, 17 Agustus. PERFIKI juga menggelar layar tancap daerah, hingga ke kampung-kampung.
“Kantor saya di Jalan Barang Lompo. PERFIKI itu organisasi nasional. Kalau di Makassar ketuanya teman, orang Tionghoa, namanya Limbung, saya sektretarisnya. Kalau di pusat itu, ketuanya tentara,” papar Iwan Azis.
Biasanya, saat pemutaran film, dibuatkan pembatas, bisa dari karung plastik. Namun, orang masih bisa lihat dari luar. Begitu antusiasnya orang, kala itu, mencari hiburan melalui film.
“Film yang diputar itu merupakan film-film nasional, yang sudah kehabisan nafas hehehe. Tapi masih bisa diinfus. Caranya dengan memutar film-film tersebut di bioskop yang beratap langit, yang begitu turun hujan, langsung kabur. Film-film ini diubah formatnya dulu ke betacame, lalu dijual. Kaset video yang bentuk kotak besar,” ceritanya sambil terkekeh.
Ketua PERFIKI, Sonny Pudjisasono, menyebut film layar tancap masih eksis, hanya bergeser ke pinggiran, dari area urban (perkotaan) ke area rural (pedesaan). Orang menonton layar tancap, kata dia, bukan hanya menikmati filmnya tapi juga suasana, silaturahmi dengan kerabat dan tetangga. Anggota PERFIKI, saat ini, 1.226 orang, tersebar di seluruh Tanah Air (https;//www.alinea.id).
Dalam tulisan yang dimuat Alinea.id itu dijelaskan bahwa layar tancap biasa juga diadakan bila ada hajatan. Mengundang pengelola film keliling jadi semacam gengsi bagi yang punya hajatan, kala itu. Maka tak heran bila pengusaha film keliling datang membawa rol-rol film, proyektor, dan layar untuk menghibur para tamu. Menontonnya pun dalam suasana santai, malah bisa sambil ngemil dan pesan jajanan.
Iwan Azis mengakui ada perkembangan perfilman di Makassar, tapi kondisinya sudah berbeda. Bioskop yang dahulu bertebaran kini tidak ada lagi. Hanya ada beberapa nama bioskop, seperti Cinema XXI, Studio 21, CGV, dan Cinepolis.
Dalam segi produksi dan bisnis juga sangat berbeda. Iwan Azis mencontohkan, kalau biaya produksi 1-2,5 milyar, sulit untuk bisa kembali modal karena sistemnya tidak menguntungkan sineas lokal, jika filmnya mau diputar di bioskop yang dimonopoli.
Di masa Ramis Parenrengi, sebagai Ketua PARFI, mereka selalu berusaha agar film-film nasional lebih diutamakan diputar di bioskop. Ramis ini akrab dengan aktor Farouk Afero. Jadi mereka sering datangkan untuk kepentingan promosi film.