Bayi Terlahir di Puncak ‘Ncanga’ itu, Kini Profesor!

Prof.Dr.Abdullah Abd. Thalib, S.Ag., M.Ag.
Prof.Dr.Abdullah Abd. Thalib, S.Ag., M.Ag. “

Keluarga ini tidak memiliki pekerjaan lain untuk memperoleh uang, kecuali berburu. Nanti setelah anak-anaknya besar, barulah memiliki usaha-usaha sporadis dan sampingan yang bisa menghasilkan uang. Seperti yang dilakukan anak-anak yang pergi mencari pelepah daun pinang atau menyabit rumput untuk dijual. Membeli angkutan desa (benhur) dan anaknya juga menjadi sais benhur orang lain dengan mengharapkan upah dari pekerjaannya itu.

“Modalnya saat berangkat ke Makassar, dia hanya memberi tahu ingin pergi menuntut ilmu. Bagaimana, Dik. Kita tidak punya biaya yang untuk membiayai. Dia berangkat ke Makassar (1990) hanya saya bekali dengan uang Rp 5.000,“ ujar Suhartati — anak sulung — dengan suara yang terdengar bergetar, kemudian terdengar terisak kecil, saat saya wawancarai dari Makassar melalui telepon 24 Juni 2025 malam.

Dia melepas adiknya merantau, menyeberangi lautan menuju pulau seberang tanpa sanak keluarga yang didatangi. Dia akan belajar mandiri tanpa kemampuan ekonomi.

Hidup tanpa keluarga di negeri orang. Berusaha sekuat tenaga memikul pesan orang tua, menjadi orang. Orang tua tidak memiliki apa-apa, kecuali keinginan dan mimpi supaya anaknya menjadi orang yang berguna di kelak kemudian hari.

BACA JUGA:  AB Iwan Azis, Kine Klub, dan Arqam Azikin

“Ini pengalaman yang pahit dialami waktu itu. Jika tidak jualan sayur, kita jual kue, dan melaksanakan pekerjaan yang lain-lain,” ujar Asmah yang diwisuda di STIKP Bima tahun 1995 itu dalam percakapan dengan penulis 15 Juli 2025 malam.
Kesulitan kehidupan keluarga ini tidak ada taranya.

“Kalau dilihat ketidakmampuan kami dari segi ekonomi, bukan saja di Kecamatan Sanggar, melainkan mungkin juga untuk seluruh Kabupaten Bima. Sebab, dari kehidupan dengan ekonomi yang sulit itu, ternyata ayah mampu menyekolahkan 7 anaknya hingga menjadi ‘orang’.

Hanya saya yang gagal karena memberi kesempatan kepada adik-adik saya,” Nuraini, anak keempat pasangan Abd.Thalib-Hafsah, dengan terisak-isak berkisah kepada saya — yang ikut terenyuh — saat ditemui di Desa Boro Kecamatan Sanggar 21 Juli 2025 menjelang siang.

Selain, Suhartati, Abd.Halik, St.Asmah, juga St.Hudayah, Rosdina Mahyuti, dan Izhar sudah menjadi “orang”. Diangkat pegawai negeri sipil.

Meskipun hidup dalam keserbakekurangan, Thalib tetap berusaha menyekolahkan anaknya. Mereka tidak boleh mengikuti jejak ayah mereka yang hanya bersekolah hingga sekolah rakyat zaman dulu.

BACA JUGA:  Pengantar Buku Riset Internasional LSI Denny JA: MENENTUKAN KEMAJUAN NEGARA MELALUI INDEKS TATA KELOLA PEMERINTAHAN

“Saya hanya ingin bisluit, ijazah. Tidak mau melihat kalian pulang dengan menggandeng perempuan cantik. Kalian harus sekolah, bagaimana pun caraku membiayai,” inilah kalimat yang selalu ditekankan kepada anak-anaknya yang ternyata dari delapan anaknya yang hidup, hanya satu yang tidak menjadi pegawai negeri.

br