Beruntung, saya kemudian bisa mendengar pembacaan tulisan-tulisannya melalui “Kolom Udara” Asdar Muis RMS yang disiarkan oleh Radio SCFM. Kolom yang dalam bentuk teks tidak terasa emosinya itu, menjadi hidup begitu dibaca oleh sang empunya tulisan tersebut.
Meski, kolom-kolom itu dari segi tanggal pembuatannya sudah kedaluwarsa, tapi tetap memikat dan kontekstual. Maksudnya, pesan-pesan moral dari tulisan yang dibuat beberapa tahun lampau itu masih relevan dengan situasi kekinian. Karena faktanya memang masih ada kasus-kasus sejenis. Realitasnya dan fenomena yang digambarkan dalam kolom itu masih terus berlangsung.
Harus diakui program acara “Kolom Udara” ini merupakan sebuah inovasi dan kemudian menjadi trend setter lahirnya program sejenis di radio lain di Makassar. Acara ini bahkan memberi bobot tersendiri dan menjadi ikon radio yang bersiaran pada frekuensi 90,9 FM tersebut.
Pengakuan terhadap terobosan yang dilakukan oleh program acara ini lantas mengantarnya memperoleh KPID Award, yang merupakan ajang apresiasi bagi program dan insan penyiaran yang diadakan oleh Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Sulawesi Selatan.
Walaupun saya pernah melontarkan sedikit kritik bahwa tidak seharusnya, Asdar Muis RMS berteriak sejadi-jadinya ketika membacakan kolomnya itu. Sebab, dia tidak sedang berada di atas panggung pertunjukkan yang jauh dari penonton, melainkan di depan mikrofon yang peka suara. Namun, saya juga memahami bahwa dengan berteriak, Asdar Muis RMS akan lebih ekspresif dan suaranya lebih menghadirkan suasana dramatik di ruang dengar audiens-nya. Theater of mind terbangun.
***
Akhirnya, saat itu pun datang. Saya berkesempatan bertemu dengannya di kampus Institut Kesenian Makassar (IKM), Jalan Bau Mangga III. Tentu saya senang bukan kepalang. Apalagi, saya berencana menerbitkan buku kumpulan puisi.
Maka, saya dengan agak ragu menyampaikan niat saya meminta kesediaannya memberi komentar pada buku saya itu. Jawabannya, ketika itu, “Biar saya baca dulu na. Berapa hari saya dikasi waktu?”
Singkat cerita, seorang Asdar Muis RMS, yang diam-diam saya kagumi itu, memberi endorsement pada buku kumpulan puisi pertama saya berjudul “Tuhan Tak Sedang Iseng” (Rayhan Intermedia, 2014). Inilah momentum di mana saya mulai merasa dekat dengannya. Karena setelah itu, kami sering berinteraksi.
Saat perayaan ulang tahun perak perkawinannya, saya diundang dan berkesempatan hadir. Saya bahkan diperkenalkan sebagai penyair di hadapan tetamunya, dan dipromosikan bakal menerbitkan buku kumpulan puisi.