NusantaraInsight, Makassar — Yang saya ingat betul, persis ketika dia dari Malaysia pulang ke Ujungpandang menjenguk orang tuanya, pada waktu itu akan ada pergantian Rektor Unhas.
Pak Amiruddin lantas bertemu saya (Fachrudin). Lantaran mungkin di SMP berteman dekat, jadi ngomongnya juga enak.
Begitu bertemu, saya lantas mengatakan bahwa kepemimpinan Unhas akan kosong. Saya juga menyampaikan permasalahan pelik yang dihadapi Unhas. Saya katakan, keadaan itu sukar diatasi oleh orang-orang Unhas sendiri. Karena itu, menurut hipotesis saya, pemecahan masalah itu hanya dapat dilakukan oleh orang luar.
Ketika itu, saya langsung meledek dia:” Bagaimana? Ada minat?”. Pak Amiruddin tidak segera menjawab.
Tetapi, tidak lama kemudian, setelah di Malaysia, saya mendapat surat dari dia. Dalam surat itu dikatakan bahwa setelah mendengar problem Unhas, dia merasa senang untuk dapat memperoleh tantangan yang demikian.
Jadi, rupanya setelah kami ngomong-ngomong dulu itu, lantas ada yang “garap dari atas”.
Di dalam lingkungan Unhas, saya bersama-sama teman “menggarap”. Rasanya seru juga. Sebab, pemilihan rektor dulu berbeda dengan pemilihan rektor sekarang.
Pemilihan rektor pada saat itu cukup demokratis karena bukan hanya para anggota senat yang memilih, melainkan para dosen ikut juga memilih. Kalau sekarang Senat Universitas saja.
Jadi, sistem pemilihan ketika itu, memberikan kesempatan kepada golongan III ke atas untuk memilih rektornya. Saat itu yang ikut memilih sekitar 600 orang. Seperti pemilihan umum rasanya.
Di situ, saya dapat melihat sekaligus membuktikan bahwa masyarakat Unhas memang sedang memerlukan perubahan.
Saya anggap itu gejala yang baik. Yang mengherankan ialah tanggapan begitu besar dari masyarakat Unhas yang sebenarnya belum begitu mengenal Pak Amiruddin.
Jadi,hanya kita (teman sekelas) yang mengenal Pak Amiruddin dan waktu itu sudah di Unhas yang bercerita. Antara lain, seperti Said Sutte, Pakki Sallatu dan lain-lain.
Akhirnya waktu itu, kalau tidak salah, Pak Amiruddin mendapat suara lebih 90%. Hampir menang mutlak. Jadi, menurut saya, ketika itu memang Unhas memerlukan orang luar untuk memperbaiki keadaan.
Balik Berperan
Semua yang saya tuturkan itu hanya bagian kecil dari pengalaman saya bersama Pak Amiruddin.
Namun, satu hal perlu diungkap sebagai sejarah hidup kami, yaitu mengenai “Yayasan Pendidikan Latimojong” (YPL). Dulu di Pulau Jawa kami mendapat beasiswa dari YPL. Setelah semua kembali ke Ujungpandang, kami mencoba melihat kembali dan membina yayasan itu.